Feel before thinking. Think before speaking.

Rabu, 23 Desember 2015

TUNTUNAN KONSUMSI DALAM ISLAM

TUNTUNAN KONSUMSI DALAM ISLAM

A.  Pengertian Tuntunan Konsumsi dalam Islam
Prinsip ekonomi dalam Islam yang disyariatkan adalah agar tidak hidup bermewah-mewah, tidak berusaha pada kerja-kerja yang dilarang, membayar zakat dan menjauhi riba, merupakan rangkuman dari akidah, akhlak dan syariat Islam yang menjadi rujukan dalam pengembangan sistem ekonomi Islam. Nilai-nilai moral tidak hanya bertumpu pada aktifitas individu tapi juga pada interaksi secara kolektif. Individu dan kolektif menjadi keniscayaan nilai yang harus selalu hadir dalam pengembangan sistem, terlebih lagi ada kecenderungan nilai moral dan praktek yang mendahulukan kepentingan kolektif dibandingkan kepentingan individual.
Preferensi ekonomi baik individu dan kolektif dari ekonomi Islam akhirnya memiliki karakternya sendiri dengan bentuk aktifitasnya yang khas. Dan prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam, ada tiga aspek adalah sebagai berikut:[1]
a.       Ketauhidan,
b.      Khilafah, dan
c.       Keadilan.
Tiga prinsip tersebut tidak bisa dipisahkan, dikarenakan saling berkaitan untuk terciptanya perekonomian yang baik dan stabil. Dalam pendekatan ekonomi Islam, konsumsi adalah permintaan sedangkan produksi adalah penawaran atau penyediaan. Perbedaan ilmu ekonomi konvensional dan ekonomi Islam dalam hal konsumsi terletak pada cara pendekatannya dalam memenuhi kebutuhan seseorang. Islam tidak mengakui kegemaran materialistis semata-mata dari pola konsumsi konvensional.
Islam adalah agama yang ajarannya mengatur segenap perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Demikian pula dalam masalah konsumsi, Islam mengatur bagaimana manusia dapat melakukan kegiatan-kegiatan konsumsi yang membawa manusia berguna bagi kemaslahatan hidupnya. Seluruh aturan Islam mengenai aktivitas konsumsi terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Perilaku konsumsi yang sesuai dengan ketentuan al-Qur’an dan as-Sunnah ini akan membawa pelakunya mencapai keberkahan dan kesejahteraan hidupnya.
Syari’at Islam menginginkan manusia mencapai dan memelihara kesejahteraannya. Imam Shatibi menggunakan istilah maslahah, yang maknanya lebih luas dari sekedar utility atau kepuasan dalam ekonomi konvensional. Maslahah merupakan sifat atau kemampuan barang dan jasa yang mendukung elemen-elemen dan tujuan-tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka bumi ini.[2]
Menurut Imam Al-Ghazali mengatakan ada lima kebutuhan dasar yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia dan kesejahteraan masyarakat tergantung pada pencarian dan pemeliharaan lima tujuan, yaitu:[3]
a.       Kehidupan atau jiwa (al-nafs),
b.      Properti atau harta (al-maal),
c.       Keyakinan (al-din),
d.       Intelektual (al-aql),
e.       Keluarga atau keturunan (al-nasl).
Untuk menjaga kontinuitas kehidupan, maka manusia harus memelihara keturunannya (al-nasl). Meskipun seorang muslim meyakini bahwa waktu kehidupan tidak hanya menyangkut kehidupan dunia melainkan hingga akhirat, tetapi kelangsungan kehidupan dunia amatlah penting. Kita harus berorientasi jangka panjang dalam merencanakan kehidupan dunia, tentu saja dengan tetap berfokus kepada kehidupan akhirat. Oleh karenanya, kelangsungan keturunan dan keberlanjutan dari generasi ke generasi harus diperhatikan. Ini merupakan suatu kebutuhan yang amat penting bagi eksistensi manusia.
Semua barang dan jasa yang mendukung tercapainya dan terpeliharanya kelima elemen tersebut pada setiap individu, itulah yang disebut dengan maslahah. Aktivitas ekonomi meliputi produksi, konsumsi dan pertukaran yang menyangkut maslahah tersebut harus dikerjakan sebagai religious duty atau ibadah. Tujuannya bukan hanya kepuasan di dunia saja tetapi juga kesejahteraan diakhirat. Semua aktivitas tersebut memiliki maslahah bagi umat manusia dan semua kebutuhan itu harus terpenuhi. Mencukupi kebutuhan dan bukan memenuhi kebutuhan/keinginan adalah tujuan dari aktivitas ekonomi Islam, dan usaha pencapaian tujuan itu adalah salah satu kewajiban dalam beragama.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa tujuan konsumsi seorang muslim bukanlah mencari utility, melainkan mencari maslahah. Antara konsep utility
dan maslahah sangat berbeda dan bertolak. Menurut Hendri Anto ada empat hal yang membedakan antara utility dan maslahah, yaitu:
a.       Maslahah relatif objektif karena bertolak pada pemenuhan kebutuhan, karena kebutuhan ditentukan berdasarkan pertimbangan rasional normatif dan positif. Sedangkan dalam utilitas orang mendasarkan pada kriteria yang bersifat subjektif karenanya dapat berbeda diantara orang satu dengan orang lain.
b.      Maslahah individual akan relatif konsisten dengan maslahah sosial, sementara utilitas individu sangat mungkin berbeda dengan utilitas sosial. Hal ini terjadai karena dasar penentuannya yaang lebih objektif sehingga lebih mudah dibandingkan, dianalisis dan disesuaikan antara satu orang dengan orang lain, antara individu dan sosial.
c.        Jika maslahah dijadikan tujuan dari seluruh pelaku ekonomi yaitu produsen, konsumen dan distributor, maka arah pembangunan ekonomi akan menuju pada titik yang sama yaitu peningkatan kesejahteraan hidup ini akan berbeda dengan utilitas, dimana konsumen akan mengukurnya dari pemenuhan keinginannya, sementara produsen dan distributor yang mengukur dengan mengedepankan keuntungan yang diperolehnya.
d.      Maslahah merupakan konsep yang lebih terukur (accountable) dan dapat diperbandingkan (comparable) sehingga lebih mudah disusun prioritas dan pentahapan dalam pemenuhannya. Hal ini akan mempermudah perencanaan alokasi anggaran serta pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Sebaliknya, untuk mengukur tingkat utilitas dan membandingkannya antara satu orang dengan orang lain tidaklah mudah karena bersifat relatif.[4]
Sementara itu, Hendrianto menyebutkan dalam bukunya al-Ghazali berpendapat bahwa maslahah dari sesuatu itu harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu:[5]
a.       Jelas dan faktual (objektif, terukur dan nyata)
b.      Bersifat produktif
c.       Tidak menimbulkan konflik keuntungan diantara swasta dan pemerintah
d.      Tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat.

B.  Prinsip-prinsip Tuntunan Konsumsi dalam Islam
Ada beberapa prinsip dalam berkonsumsi bagi seorang muslim yang membedakannya dengan perilaku konsumsi nonmuslim (konvensional). Prinsip tersebut disarikan dari ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits Nabi SAW dan perilaku sahabat. Prinsip-prinsip tersebut antara lain:[6]
1)      Prinsip Syariah
a.       Memperhatikan Tujuan Konsumsi
Perilaku konsumsi muslim dari segi tujuan tidak hanya mencapai kepuasaan dari konsumsi barang, melainkan berfungsi “ibadah” dalam rangka mendapat ridha Allah SWT sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al An’am ayat 162: ‘Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” Kata “hidupku” maknanya termasuk di dalamnya berkonsumsi. Perilaku konsumsi muslim berfungsi sebagai ibadah sehingga merupakan amal sholeh, karena setiap perbuatan adalah perintah dari Allah, maka mengandung ibadah. Sedangkan perintah makan terdapat pada Al-Quran surat Al A’raf ayat 31 : “makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah Swt tidak menyukai orang yang berlebihan”.
Demikian juga, berkonsumsi merupakan sunnah Nabi Muhammad Saw dimana Nabi mencontohkan tata cara makan. Apalagi ketika melaksanakan perintah makan atau berkonsumsi dalam arti luas, maka pelaksanaanya mencontoh Nabi Muhammad SAW, baik secara kuantintas maupun kualitas. Kuantitas dan kualitas terkait preferensi, di mana preferensinya harus disesuaikan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.
b.      Memperhatikan Kaidah Ilmiah
Dalam berkonsumsi, seorang muslim harus memperhatikan prinsip kebersihan. Prinsip kebersihan mengandung arti barang yang dikonsumsi harus bebas dari kotoran maupun penyakit, demikian juga harus menyehatkan, bernilai gizi, dan memiliki manfaat tidak mempunyai kemudharatan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah ayat 172: “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.”
Islam menjunjung tinggi kebersihan, bahkan berdasarkan hadits kebersihan merupakan bagian dari iman. Kaidah ilmiah juga memperhatikan prinsip keadilan. Prinsip keadilan mengandung arti bahwa dalam berkonsumsi tidak boleh menimbulkan kezaliman, yakni berada dalam koridor aturan atau hukum agama, serta menjunjung tinggi kepantasan atau kebaikan (halalan thoyiban). Islam memiliki berbagai ketentuan barang ekonomi yang boleh dikonsumsi dan tidak boleh dikonsumsi (dilarang). Pada prinsipnya ketentuan larangan ini berkaitang dengan sesuatu yang dapat membahayakan fisik maupun spirituallitas manusia. Sehingga ketentuan ini harus dipatuhi oleh seorang muslim.
c.       Memperhatikan Bentuk Konsumsi
Dari konsep ini, fungsi konsumsi muslim berbeda dengan prinsip konvensional yang bertujuan kepuasan maksimum (maximum utility), terlepas ada keridhaan Allah atau tidak, karena pada hakekatnya teori konvensional tidak mengenal Tuhan. Dari segi bentuk konsumsi, seorang muslim harus memperhatikan apa pun yang dikonsumsinya. Hal ini tentu berhubungan dengan adanya batasan oang muslim dalam mengonsumsi suatu barang dan jasa. Seorang muslim dilarang misalnya mengonsumsi daging babi, bangkai, darah, minuman keras (khamr), candu/narkotik, dan berjudi. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah ayat 173 : “Sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (yang ketika) disembelih bukan menyebut asma Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya”. 
Berbeda dengan bentuk konsumsi konvensional yang tidak mengenal batasan. Berapa pun yang dikonsumsi selagi anggaran terjangkau tidak menjadi masalah (ingat teori preferensi konsumsi dalam teori konvensional, bahwa kendala dalam konsumsi adalah pada anggaran). Dari segi jenis pemuas konsumsi pun tidak ada batasannya, apakah sesuai agama atau tidak, yang penting memuaskan nafsu konsumsinya maka terjadilah konsumsi yang sah.

2)      Prinsip Kuantitas
a.       Sederhana, Tidak Bermewah-mewahan
Sesungguhnya kuantitas konsumsi yang terpuji dalam kondisi yang wajar adalah sederhana. Maksudnya, berada di antara boros dan pelit. Kesederhanaan ini merupakan salah satu sifat hamba Allah Yang Maha Pengasih, seperti yang disebutkan dalam firman-Nya, surat Al Furqan ayat 67 : “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yan demikian.” Prinsip kesederhanaan, maksudnya dalam berkonsumsi hendaknya menghindari sikap berlebihan (ishraf), karena sikap ini sangat dibenci oleh Allah SWT. Demikian juga menjauhi sifat mubazir. Sifat mubazir adalah sifat yang dibenci oleh Allah SWT. Dan dalam berkonsumsi hendaknya kita juga harus menghindari sikap bermewah-mewahan (tarf). Jika sikap tarf telah merebak, maka kehidupan masyarakat akan mengalami kehancuran dan kebinasaan.
Rasulullah SAW memberi peringatan agar umatnya tidak hidup bermewah-mewahan, sebagaimana sabdanya: “Jauhkanlah hidup bermewah-mewahan, sesungguhnya tidak termasuk hamba Allah orang yang hidup bermewah-mewahan” (HR. Ahmad dan Al Baihaqi).
b.      Kesesuaian antara Pemasukan dengan Konsumsi
Kesesuaian antara pemasukan dan konsumsi adalah hal yang sesuai dengan fitrah manusia dan realita. Karena itu, salah satu aksiomatik ekonomi adalah bahwa pemasukan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi permintaan konsumen individu. Di mana permintaan menjadi bertambah jika pemasukan bertambah, dan permintaan menjadi berkurang jika pemasukan menurun disertai tetapnya faktor-faktor yang lain.
Sesungguhnya kesesuaian antara konsumsi dan pemasukan tersebut memiliki dalil-dalil ynag jelas dalam perekonomian Islam, di antaranya firman Allah SWT dalam surat At Thalaq ayat 7: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan  Allah kapadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”

3)      Prinsip Prioritas
Prioritas atau urutan konsumsi alokasi harta menurut syariat islam, antara lain:
a.       Untuk nafkah diri, istri, anak, dan saudara
§  Nafkah diri, manusia diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan diri dan mendahulukannya atas pemenuhan kebutuhan orang lain. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW : “Mulailah dengan dirimu sendiri. Maka bersedekalah untuk diri itu. Kelebihan sesuatu yang kamu miliki adalah untuk keluargamu dan kelebihan selanjutnya adalah untuk para kerabatmu”.
§  Nafkah Istri, nafkah harus dipenuhi oleh suaminya karena ikatan dirinya kepada suaminya. Status istri telah menyebabkan ia telah diserahkan kepada suaminya, konsekuensinya suamilah yang menanggung keperluan (nafkah)nya. Semula, sebelum terikat dalam suatu pernikahan nafkah tersebut ditanggung oleh orang tuanya.
§  Nafkah kerabat, sebab wajibnya nafkah tersebut adalah adanya keharaman untuk memutuskan silaturahmi. Kerabat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu:
Ø  Keturunan dalam kategori ini adalah mereka yang telah  dewasa atau masih kecil.
Ø  Ayah dan ibu yang termasuk garis keturunan ke atas, nafkah ayah dan ibu wajib dipenuhi oleh anak-anaknya sesuai dengan firman Allah dalam surat  Luqman ayat 15: “Dan pergauilah keduanya  di dunia dengan baik”.
Ø  Saudara laki-laki dan perempuan serta semua kerabat yang masuk dalam kategori ini.
§  Nafkah bagi pihak yang membantu istri. Dalam mengerjakan pekerjaan rumah, ketika ada orang yang membantu istri maka nafkahnya menjadi tanggung jawab suami dari istri tersebut. Besarnya nafkah tergantung situasi dan kondisi atau kesepakatan, karena merupakan upah atau gaji.
§  Nafkah untuk budak. Pada masa perbudakan, pemilik budak diharuskan untuk memberikan nafkah kepada para budak yang dimilikinya.
§  Pemenuhan kebutuhan pada binatang pemeliharaannya.
b.      Untuk memperjuangkan agama Allah
Di antara karunia Allah yang diberikan kepada hamba mukmin-Nya adalah karunia berupa harta dan adanya semangat untuk membelanjakan harta itu di jalan yang dibenarkan oleh syari’at.

4)      Prinsip Moralitas
Perilaku konsumen seorang muslim dalam berkonsumsi juga memperhatikan nilai prinsip moralitas, di mana mengandung arti ketika berkonsumsi terhadap suatu barang, maka dalam rangka menjaga martabat manusia yang mulia, berbeda dengan makhluk Allah lainnya. Sehingga dalam berkonsumsi harus menjaga adab dan etika (tertib) yang disunahkan oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagai contoh, ketika makan memakai tangan kanan, membaca doa, dan tidak mencela makanan dan sebagainya. Dalam suatu riwayat Abu Hurairah r.a. berkata “Bahwa Rasulullah SAW tidak pernah sekaipun mencela makanan, jika beliau tidak tertarik kepadanya maka beliau meninggalkannya.” (HR. Abu Daud).

C.  Tuntunan Konsumsi dalam Islam
Dalam rangka menganalisis perilaaku konsumen, seseorang bisa saja berpandangan sempit dengan mengatakan bahwa konsumen dalam suatu masyarakat Islam hanya dituntun secara ketat dengan sederetan larangan, seperti makan daging babi, minum minuman keras, mengenakan pakaian sutera dan cincin emas (untuk pria), dan sebegainya. Karena dalam Syariat semua larangan-larangan itu mempunyai keabsahan yang pasti, maka para konsumen Muslim janganlah memperurutkan hatu untuk makan makanan yang terlarang demi disiplin sosial, persatuan Islam, dan arti penting spiritual.
Tetapi, ada pandangan lebih luas mengenai “sikap tidak berlebih-lebihan” dalam hal konsumsi yang dituntun oleh perilaku para konsumen Muslim yang mengutamakan kepentingan orang lain. Oleh karena itu, yang dibutuhkan adalah menentukan apakah tingkatan konsumsi yang berlaku dalam suatu masyarakat berada di bawah atau di atas tingkat sederhana. Dalam konteks masyarakat Muslim sekarang ini, naiflah untuk menganggap bahwa tekanan Islam pada sikap sederhana berarti menurunkan tingkatan konsumsi yang sudah rendah itu.
Dalam Islam, pada hakikatnya konsumsi adalah suatu pengertian yang positif. Larangan-larangan dan perintah-perintah mengenai makanan dan minuman harus dilihat sebagai bagian usaha untuk meningkatkan sifat perilaku konsumsi. Dengan mengurangi pemborosan yang tidak perlu, Islam menekankan perilaku mengutamakan kepentingan orang lain yaitu pihak konsumen. Sikap moderat dalam perilaku konsumen ini kemudian menjadi logik dari gaya konsumsi Islam, yang sifatnya nisbi (relatif) dan dinamis.
Kunci untuk memahami perilaku konsumen dalam Islam tidak terletak dengan hanya mengetahui hal-hal yang terlarang tetapi juga dengan menyadari konsep dinamis tentang sikap moderat dalam konsumsi yang dituntun oleh perilaku mengutamakan kepentingan orang lain, yaitu seorang konsumen Muslim. Larangan-larangan Islam mengenai makanan dan minuman harus dipandang sebagai usaha untuk memperbaiki perilaku konsumen.[7]




DAFTAR PUSTAKA

A. Karim, Adiwarman. 2011. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: Rajawali Perss.
Al Rahman, Afzalur. 1995.  Doktrin Ekonomi Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.
Chapra, Umer. 2001.  Masa Depan Ilmu Ekonomi. Jakarta: Gema Insani Perss.
Hakim, Lukman. 2012.  Prinsip-prinsip Ekonomi Islam. Jakarta: Erlangga.
Hendrianto. 2003.  Pengantar Ekonomi Mikro Islami. Yogyakarta: Ekonisia.
Mannan, M.A. 1992. Ekonomi Islam: Teori dan Praktek Dasar-dasar Ekonomi Islam. Jakarta: Intermasa.






[1] Umer Chapra , Masa Depan Ilmu Ekonomi, Gema Insani Press, Jakarta, 2001, hal. 202-206.
[2] Afzalur al Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1995, hal. 17.
[3] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islam, Rajawali Perss, Jakarta, 2011, hal. 62.
[4] Hendrianto, Pengantar Ekonomi Mikro Islami, Ekonisia, Yogyakarta, 2003, hal. 121.
[5] Ibid, hal. 126.
[6] Lukman Hakim, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam, Erlangga, Jakarta, 2012, hal. 93-100.
[7] M.A. Mannan, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek Dasar-dasar Ekonomi Islam, Intermasa, Jakarta, 1992, hal. 50-51.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar