MEKANISME
PASAR MENURUT PEMIKIRAN ILMUWAN EKONOMI ISLAM
1. ABU
HANIFA
Abu
Hanifah Al-Nu’man Ibn Sabit bin Zauti, ahli hukum agama Islam dilahirkan di
Kuffah pada 699 M semasa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan. Ia meninggalkan
banyak karya tulis antara lain Al-Makharif
fi Al-fiqh, Al-Musnad, dan Al-fiqh Al-Akbar. Abu Hanifah
menyumbangkan beberapan konsep ekonomi, salah satunya adalah salam, yaitu
suatu bentuk transaksi dimana antara pihak penjual dan pembeli sepakat bila
barang yang dibeli dikirimkan setelah dibayar secara tunai pada waktu kontrak
disepakati.
Firman
Allah yang menjelaskan tentang diperbolehkannya jual beli salam terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 282:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ
إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا
عَلَّمَهُ اللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ
وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا ۚ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan
benar...”
Abu
Hanifah mengkritisi prosedur kontrak tersebut yang cenderung mengarah kepada
perselisihan antara yang memesan barang dengan cara membayar lebih dulu, dengan
orang yang membelikan barang. Beliau mencoba menghilangkan perselisihan ini
dengan merinci lebih jauh apa yang harus diketahui dan dinyatakan dengan jelas
didalam kontrak, seperti jenis komoditas, kualitas, kuantitas, waktu, dan
tempat pengiriman. Beliau memberikan persyaratan bahwa komoditas tersebut harus
tersedia di pasar selama waktu kontrak dan waktu pengiriman.
Salah
satu kebijakan dari beliau adalah menghilangkan ambiguitas dan perselisihan
dalam masalah transaksi. Hal ini merupakan salah satu tujuan syariah dalam
hubungannya dengan jual beli. Dan dikenal juga sebagai penjahit pakaian dan
pedagang dari Kufah, Irak. Dia menggagas keabsahan dan kesahihan hukum kontrak
jual-beli yang dikenal dewasa ini dengan bay’al-salam dan al-murabahah. Dalam
Murabahah persentase kenaikan harga (mark up) didasarkan atas
kesepakatan antara penjual dan pembeli terhadap harga pembelian yang
pembayarannya diangsur. Pengalaman Abu Hanifah dibidang perdagangan menjadikan
beliau dapat menentukan mekanisme yang lebih adil dalam transaksi yang sejenis.
Perhatian
Abu Hanifah sangat perhatian pada orang-orang lemah. Abu Hanifah tidak
membebaskan perhiasan dari zakat dan akan membebaskan kewajiban membayar zakat
bagi pemilik harta yang dililit utang. Beliau tidak memperbolehkan pembagian
hasil panen (muzaraah) dari penggarap kepada pemilik tanah dalam kasus tanah
yang tidak menghasilkan apa pun. Hal ini dilakukan untuk melindungi para
penggarap yang umumnya orang lemah.
2. ABU
YUSUF
Abu
Yusuf tercatat sebagai ulama terawal yang mulai menyinggung mekanisme pasar. Ia
memperhatikan peningkatan dan penurunan produksi dalam kaitannya dengan
perubahan harga. Fenomena yang terjadi pada masa itu, pada saat terjadi kelangkaan
barang maka harga cenderung akan naik atau tinggi. Sedangkan pada saat
persediaan barang melimpah, maka harga cenderung untuk turun atau lebih rendah.
Pemahaman yang terjadi pada masa itu tentang hubungan harga dan jumlah atau
kuantitas hanya memperhatikan kurva demand.
Dalam
literatur kontemporer, fenomena yang berlaku pada masa Abu Yusuf dapat
dijelaskan dalam teori permintaan. Teori ini menjelaskan hubungan antara harga
dengan banyaknya kuantitas barang yang diminta. Dimana hubungan harga dan kuantitas
dapat dirumuskan sebagai berikut:
Formulasi
ini menunjukkan bahwa pengaruh harga terhadap jumlah permintaan suatu komoditi
adalah negatif, apabila P maka Q¯, begitu sebaliknya apabila P¯ maka Q. Dari
formulasi ini dapat disimpulkan bahwa permintaan mengatakan bila harga komoditi
naik maka akan direspons oleh penurunan jumlah komoditi yang dibeli. Begitu
juga apabila harga komoditi turun maka akan direspons oleh konsumen dengan
meningkatkan jumlah komoditi yang dibeli.
Abu
Yusuf membantah pemahaman seperti ini, karena pada kenyataanya tidak selalu
terjadi bahwa bila persediaan barang sedikit, harga akan mahal, dan bila persediaan barang melimpah maka
harga akan murah. Abu Yusuf mengatakan: “Kadang-kadang makanan berlimpah,
tetapi mahal dan kadang-kadang makanan sangat sedikit tetapi murah.”
Hal ini
dapat digambarkan sebagai berikut:
Menurut
Abu Yusuf, dapat saja harga-harga tetap mahal (P3) ketika persediaan
barang melimpah (Q3). Pernyataan Abu Yusuf ini, mengkritisi pendapat
umum yang menyatakan harga berbanding terbalik dengan persediaan barang.
Dari
pernyataan tersebut tampaknya Abu Yusuf menyangkal pendapat umum mengenai
hubungan terbalik antara persediaan barang (supply) dan harga karena pada
kenyataannya harga tidak tergantung pada permintaan saja, tetapi juga
bergantung pada kekuatan penawaran. Oleh karena itu, peningkatan/penurunan
harga tidak selalu berhubungan dengan peningkatan/penurunan permintaan, atau
penurunan/peningkatan dalam produksi.
Abu
Yusuf mengatakan: “ Tidak ada batasan tertentu tentang murah dan mahal yang
dapat dipastikan. Hal tersebut ada yang mengaturnya. Prinsipnya tidak bisa
diketahui. Murah bukan karena melimpahnya makanan, demikian juga mahal tidak
disebabkan karena kelangkaan makanan. Murah dan mahal merupakan ketentuan
Allah.”
Dalam
hukum penawaran terhadap barang dikatakan bahwa hubungan antara harga dengan
banyaknya komoditi yang ditawarkan mempunyai kemiringan positif. Dalam sebuah
formulasi yang sederhana, hubungan antara harga dengan jumlah komoditi dapat
dilihat di bawah ini:
Formulasi
ini menunjukkan bahwa pengaruh harga terhadap jumlah permintaan suatu komoditi
adalah positif, apabila P maka Q¯ begitu pula sebaliknya apabila P¯ maka Q¯. Dari
formulasi ini kita dapat simpulkan bahwa hukum penawaran mengatakan bila harga
komoditi naik, akan direspons oleh penambahan jumlah komoditi yang ditawarkan.
Begitu pula apabila harga komoditi turun, akan direspons oleh penurunan jumlah
komoditi yang ditawarkan.
Di lain
pihak Abu Yusuf juga menegaskan bahwa ada beberapa variabel lain yang
memengaruhi, tetapi dia tidak menjelaskan lebih rinci. Bisa jadi variabel itu
adalah pergeseran dalam permintaan atau jumlah uang yang beredar di suatu
negara, atau penimbunan dan penahanan barang atau semua hal tersebut.
Karena
Abu Yusuf tidak membahas lebih rinci apa yang disebutkannya sebagai variabel
lain, ia tidak menghubungkan fenomena yang diobservasinya terhadap perubahan
dalam penawaran uang. Namun, pernyataannya tidak menyangkal pengaruh dari
permintaan dan penawaran dalam penentuan harga. Menurut Siddiqi, ucapan Abu
Yusuf harus diterima sebagai pernyataan hasil pengamatannya saat itu, yakni
keberadaan yang bersamaan antara melimpahnya barang dan tingginya harga serta
kelangkaan barang dan harga rendah.
3. AL-GHAZALI
Al-lhya
‘Ulumuddin karya Al-Ghazali juga banyak membahas topik-topik ekonomi, termasuk
pasar. Dalam magnum opusnya itu ia telah membicarakan barter dan
permasalahannya, pentingnya aktivitas perdagangan dan evolusi terjadinya pasar,
termasuk bekerjanya kekuatan permintaan dan penawaran dalam mempengaruhi harga.
Dalam
penjelasannya tentang proses terbentuknya suatu pasar ia menyatakan, “dapat saja petani hidup dimana alat-alat
pertanian tidak tersedia. Sebaliknya, pandai besi dan tukang kayu hidup dimana
lahan pertanian tidak ada. Namun, secara alami mereka akan saling memenuhi
kebutuhan masing-masing. Dapat saja terjadi tukang kayu membutuhkan makanan,
tetapi petani tidak membutuhkan alat-alat tersebut. Keadaan ini menimbulkan
masalah. Oleh karena itu, secara alami pula orang akan terdorong untuk
menyediakan tempat penyimpanan alat-alat di satu pihak, dan penyimpanan hasil
pertanian dipihak lain. Tempat inilah yang kemudian didatangi pembeli sesuai
kebutuhannya masing-masing sehingga terbentuklah pasar. Petani, tukang kayu,
dan pandai besi yang tidak dapat langsung melakukan barter, juga terdorong
pergi ke pasar ini. Bila dipasa rjuga tidak ditemukan orang yang mau melakukan
barter, ia akan menjual pada pedagang dengan harga yang relative murah untuk
kemudian disimpan sebagai persediaan. Pedagang kemudian menjualnya dengan suatu
tingkat keuntungan. Hal itu berlaku untuk setiap jenis barang.
Pada
kesempatan lain Al-Ghazali juga secara eksplisit menjelaskan mengenai
perdagangan regional: “Selanjutnya praktik-praktik ini terjadi di berbagai kota
dan Negara. Orang-orang melakukan perjalanan ke berbagai tempat untuk
mendapatkan alat-alat makanan dan membawanya ketempat lain. Urusan ekonomi
orang akhirnya diorganisasikan ke kota-kota dimana tidak seluruh makanan
dibutuhkan. Keadaan inilah yang pada gilirannya menimbulkan kebutuhan terhadap
alat transportasi. Terciptanya kelas pedagang regional dalam masyarakat.
Motifnya tentu saja mencari keuntungan. Para pedagang ini bekerja keras
memenuhi kebutuhan orang lain dan mendapat keuntungan, dan keuntungan ini
akhirnya dimakan oleh orang lain juga.”
Al-Ghazali
tidak menolak kenyataan bahwa keuntunganlah yang menjadi motif perdagangan. Dan
pada saat lain ia menjabarkan pentingnya peran pemerintah dalam menjamin
keamanan jalur perdagangan demi kelancaran perdagangan dan pertumbuhan ekonomi.
Walaupu
Al-Ghazali tidak menjelaskan permintaan dan penawaran dalam terminologi modern,
beberapa paragraf dalam tulisannya jelas menunjukkan bentuk kurva penawaran dan
permintaan. Untuk kurva penawaran yang “naik dari kiri bawah ke kanan atas”
dinyatakan oleh dia sebagai “jika petani tidak mendapatkan pembeli dan
barangnya, ia akan menjualnya pada harga yang lebih murah”. Gambaran grafis
dari pernyataan Al-Ghazali ini adalah sebagai berikut:
Pada tingkat
harga P1, jumlah barang yang ditawarkan oleh penjual adalah sebesar
Qs1, sementara jumlah barang yang diminta adalah hanya sebesar Qd1.
Dengan demikian, sang petani tidak mendapatkan cukup pembeli. Untuk mendapatkan
tambahan pembeli, maka sang petani menurunkan harga jual produknya, dari P1
menjadi P*, sehingga jumlah pembelinya naik dari Qd1 menjadi Q*.
Sementara
untuk kurva permintaan yang “turun dari kiri atas ke kanan bawah” dijelaskan
oleh dia sebagai “harga dapat diturunkan dengan mengurangi permintaan”. Secara
grafis, hal ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Pada
mulanya harga yang diminta oleh petani adalah sebesar P1. Pada harga
ini jumlah permintaan dan penawaran terhadap produk petani tersebut adalah
sebesar Q1. Dengan menurunkan jumlah permintaan dari Q1
menjadi hanya sebesar Q2 (yakni dengan menggeser kurva permintaan D1
ke kiri bawah menjadi kurva D2), maka tingkat harga akan turun pula
dari P1 menjadi P2. Dengan demikian harga dapat
diturunkan dengan mengurangi permintaan.
Al-Ghazali
juga telah memahami konsep elastisitas permintaan. Simak kutipan berikut: “Mengurangi
margin keuntungan dengan menjual pada harga yang lebih murah akan meningkatkan
volume penjualan dan ini pada gilirannya akan meningkatkan keuntungan.”
Bahkan
ia telah pula mengindentifikasikan produk makanan sebagai komoditas dengan
kurva permintaan yang inelastis. “Karena makanan adalah kebutuhan pokok,
perdagangan makanan harus seminimal mungkin didorong oleh motif mencari
keuntungan untuk menghindari eksploitasi melalui pengenaan harga yang tinggi
dan keuntungan yang besar. Keuntungan semacam ini seyogyanya dicari dari
barang-barang yang bukan merupakan kebutuhan pokok.”
Al-Ghazali
dan juga para pemikir sezamannya ketika membicarakan harga biasanya langsung
mengaitkannya dengan keuntungan. Keuntungan belum secara jelas dikaitkan dengan
pendapatan dan biaya. Bagi Al-Ghazali, keuntungan adalah kompensasi dari
kepayahan perjalanan, resiko bisnis dan ancaman keselamatan diri si pedagang.
DAFTAR PUSTAKA
Amalia,
Euis. 2010. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik hingga
Kontemporer. Depok: Gramata Publishing.
________. 2014. Ekonomi Islam. Jakarta:
Rajawali Pers.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar