Feel before thinking. Think before speaking.

Rabu, 23 Maret 2016

MEKANISME PASAR MENURUT PEMIKIRAN ILMUWAN EKONOMI ISLAM


MEKANISME PASAR MENURUT PEMIKIRAN ILMUWAN EKONOMI ISLAM

1.      ABU HANIFA
Abu Hanifah Al-Nu’man Ibn Sabit bin Zauti, ahli hukum agama Islam dilahirkan di Kuffah pada 699 M semasa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan. Ia meninggalkan banyak karya tulis antara lain Al-Makharif  fi Al-fiqh, Al-Musnad, dan Al-fiqh Al-Akbar. Abu Hanifah menyumbangkan beberapan konsep ekonomi, salah satunya adalah salam, yaitu suatu bentuk transaksi dimana antara pihak penjual dan pembeli sepakat bila barang yang dibeli dikirimkan setelah dibayar secara tunai pada waktu kontrak disepakati.
Firman Allah yang menjelaskan tentang diperbolehkannya jual beli salam terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 282:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا ۚ 
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar...”
Abu Hanifah mengkritisi prosedur kontrak tersebut yang cenderung mengarah kepada perselisihan antara yang memesan barang dengan cara membayar lebih dulu, dengan orang yang membelikan barang. Beliau mencoba menghilangkan perselisihan ini dengan merinci lebih jauh apa yang harus diketahui dan dinyatakan dengan jelas didalam kontrak, seperti jenis komoditas, kualitas, kuantitas, waktu, dan tempat pengiriman. Beliau memberikan persyaratan bahwa komoditas tersebut harus tersedia di pasar selama waktu kontrak dan waktu pengiriman.
Salah satu kebijakan dari beliau adalah menghilangkan ambiguitas dan perselisihan dalam masalah transaksi. Hal ini merupakan salah satu tujuan syariah dalam hubungannya dengan jual beli. Dan dikenal juga sebagai penjahit pakaian dan pedagang dari Kufah, Irak. Dia menggagas keabsahan dan kesahihan hukum kontrak jual-beli yang dikenal dewasa ini dengan bay’al-salam dan al-murabahah. Dalam Murabahah persentase kenaikan harga (mark up) didasarkan atas kesepakatan antara penjual dan pembeli terhadap harga pembelian yang pembayarannya diangsur. Pengalaman Abu Hanifah dibidang perdagangan menjadikan beliau dapat menentukan mekanisme yang lebih adil dalam transaksi yang sejenis.
Perhatian Abu Hanifah sangat perhatian pada orang-orang lemah. Abu Hanifah tidak membebaskan perhiasan dari zakat dan akan membebaskan kewajiban membayar zakat bagi pemilik harta yang dililit utang. Beliau tidak memperbolehkan pembagian hasil panen (muzaraah) dari penggarap kepada pemilik tanah dalam kasus tanah yang tidak menghasilkan apa pun. Hal ini dilakukan untuk melindungi para penggarap yang umumnya orang lemah.

2.      ABU YUSUF
Abu Yusuf tercatat sebagai ulama terawal yang mulai menyinggung mekanisme pasar. Ia memperhatikan peningkatan dan penurunan produksi dalam kaitannya dengan perubahan harga. Fenomena yang terjadi pada masa itu, pada saat terjadi kelangkaan barang maka harga cenderung akan naik atau tinggi. Sedangkan pada saat persediaan barang melimpah, maka harga cenderung untuk turun atau lebih rendah. Pemahaman yang terjadi pada masa itu tentang hubungan harga dan jumlah atau kuantitas hanya memperhatikan kurva demand.
Dalam literatur kontemporer, fenomena yang berlaku pada masa Abu Yusuf dapat dijelaskan dalam teori permintaan. Teori ini menjelaskan hubungan antara harga dengan banyaknya kuantitas barang yang diminta. Dimana hubungan harga dan kuantitas dapat dirumuskan sebagai berikut:
Formulasi ini menunjukkan bahwa pengaruh harga terhadap jumlah permintaan suatu komoditi adalah negatif, apabila P­ maka Q¯, begitu sebaliknya apabila P¯ maka Q­. Dari formulasi ini dapat disimpulkan bahwa permintaan mengatakan bila harga komoditi naik maka akan direspons oleh penurunan jumlah komoditi yang dibeli. Begitu juga apabila harga komoditi turun maka akan direspons oleh konsumen dengan meningkatkan jumlah komoditi yang dibeli.
Abu Yusuf membantah pemahaman seperti ini, karena pada kenyataanya tidak selalu terjadi bahwa bila persediaan barang sedikit, harga akan mahal,  dan bila persediaan barang melimpah maka harga akan murah. Abu Yusuf mengatakan: “Kadang-kadang makanan berlimpah, tetapi mahal dan kadang-kadang makanan sangat sedikit tetapi murah.”
Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Menurut Abu Yusuf, dapat saja harga-harga tetap mahal (P3) ketika persediaan barang melimpah (Q3). Pernyataan Abu Yusuf ini, mengkritisi pendapat umum yang menyatakan harga berbanding terbalik dengan persediaan barang.
Dari pernyataan tersebut tampaknya Abu Yusuf menyangkal pendapat umum mengenai hubungan terbalik antara persediaan barang (supply) dan harga karena pada kenyataannya harga tidak tergantung pada permintaan saja, tetapi juga bergantung pada kekuatan penawaran. Oleh karena itu, peningkatan/penurunan harga tidak selalu berhubungan dengan peningkatan/penurunan permintaan, atau penurunan/peningkatan dalam produksi.
Abu Yusuf mengatakan: “ Tidak ada batasan tertentu tentang murah dan mahal yang dapat dipastikan. Hal tersebut ada yang mengaturnya. Prinsipnya tidak bisa diketahui. Murah bukan karena melimpahnya makanan, demikian juga mahal tidak disebabkan karena kelangkaan makanan. Murah dan mahal merupakan ketentuan Allah.”
Dalam hukum penawaran terhadap barang dikatakan bahwa hubungan antara harga dengan banyaknya komoditi yang ditawarkan mempunyai kemiringan positif. Dalam sebuah formulasi yang sederhana, hubungan antara harga dengan jumlah komoditi dapat dilihat di bawah ini:


Formulasi ini menunjukkan bahwa pengaruh harga terhadap jumlah permintaan suatu komoditi adalah positif, apabila P­ maka Q¯ begitu pula sebaliknya apabila P¯ maka Q¯. Dari formulasi ini kita dapat simpulkan bahwa hukum penawaran mengatakan bila harga komoditi naik, akan direspons oleh penambahan jumlah komoditi yang ditawarkan. Begitu pula apabila harga komoditi turun, akan direspons oleh penurunan jumlah komoditi yang ditawarkan.
Di lain pihak Abu Yusuf juga menegaskan bahwa ada beberapa variabel lain yang memengaruhi, tetapi dia tidak menjelaskan lebih rinci. Bisa jadi variabel itu adalah pergeseran dalam permintaan atau jumlah uang yang beredar di suatu negara, atau penimbunan dan penahanan barang atau semua hal tersebut.
Karena Abu Yusuf tidak membahas lebih rinci apa yang disebutkannya sebagai variabel lain, ia tidak menghubungkan fenomena yang diobservasinya terhadap perubahan dalam penawaran uang. Namun, pernyataannya tidak menyangkal pengaruh dari permintaan dan penawaran dalam penentuan harga. Menurut Siddiqi, ucapan Abu Yusuf harus diterima sebagai pernyataan hasil pengamatannya saat itu, yakni keberadaan yang bersamaan antara melimpahnya barang dan tingginya harga serta kelangkaan barang dan harga rendah.

3.      AL-GHAZALI
Al-lhya ‘Ulumuddin karya Al-Ghazali juga banyak membahas topik-topik ekonomi, termasuk pasar. Dalam magnum opusnya itu ia telah membicarakan barter dan permasalahannya, pentingnya aktivitas perdagangan dan evolusi terjadinya pasar, termasuk bekerjanya kekuatan permintaan dan penawaran dalam mempengaruhi harga.
Dalam penjelasannya tentang proses terbentuknya suatu pasar ia menyatakan,  “dapat saja petani hidup dimana alat-alat pertanian tidak tersedia. Sebaliknya, pandai besi dan tukang kayu hidup dimana lahan pertanian tidak ada. Namun, secara alami mereka akan saling memenuhi kebutuhan masing-masing. Dapat saja terjadi tukang kayu membutuhkan makanan, tetapi petani tidak membutuhkan alat-alat tersebut. Keadaan ini menimbulkan masalah. Oleh karena itu, secara alami pula orang akan terdorong untuk menyediakan tempat penyimpanan alat-alat di satu pihak, dan penyimpanan hasil pertanian dipihak lain. Tempat inilah yang kemudian didatangi pembeli sesuai kebutuhannya masing-masing sehingga terbentuklah pasar. Petani, tukang kayu, dan pandai besi yang tidak dapat langsung melakukan barter, juga terdorong pergi ke pasar ini. Bila dipasa rjuga tidak ditemukan orang yang mau melakukan barter, ia akan menjual pada pedagang dengan harga yang relative murah untuk kemudian disimpan sebagai persediaan. Pedagang kemudian menjualnya dengan suatu tingkat keuntungan. Hal itu berlaku untuk setiap jenis barang.
Pada kesempatan lain Al-Ghazali juga secara eksplisit menjelaskan mengenai perdagangan regional: “Selanjutnya praktik-praktik ini terjadi di berbagai kota dan Negara. Orang-orang melakukan perjalanan ke berbagai tempat untuk mendapatkan alat-alat makanan dan membawanya ketempat lain. Urusan ekonomi orang akhirnya diorganisasikan ke kota-kota dimana tidak seluruh makanan dibutuhkan. Keadaan inilah yang pada gilirannya menimbulkan kebutuhan terhadap alat transportasi. Terciptanya kelas pedagang regional dalam masyarakat. Motifnya tentu saja mencari keuntungan. Para pedagang ini bekerja keras memenuhi kebutuhan orang lain dan mendapat keuntungan, dan keuntungan ini akhirnya dimakan oleh orang lain juga.”
Al-Ghazali tidak menolak kenyataan bahwa keuntunganlah yang menjadi motif perdagangan. Dan pada saat lain ia menjabarkan pentingnya peran pemerintah dalam menjamin keamanan jalur perdagangan demi kelancaran perdagangan dan pertumbuhan ekonomi.
Walaupu Al-Ghazali tidak menjelaskan permintaan dan penawaran dalam terminologi modern, beberapa paragraf dalam tulisannya jelas menunjukkan bentuk kurva penawaran dan permintaan. Untuk kurva penawaran yang “naik dari kiri bawah ke kanan atas” dinyatakan oleh dia sebagai “jika petani tidak mendapatkan pembeli dan barangnya, ia akan menjualnya pada harga yang lebih murah”. Gambaran grafis dari pernyataan Al-Ghazali ini adalah sebagai berikut:
Pada tingkat harga P1, jumlah barang yang ditawarkan oleh penjual adalah sebesar Qs1, sementara jumlah barang yang diminta adalah hanya sebesar Qd1. Dengan demikian, sang petani tidak mendapatkan cukup pembeli. Untuk mendapatkan tambahan pembeli, maka sang petani menurunkan harga jual produknya, dari P1 menjadi P*, sehingga jumlah pembelinya naik dari Qd1 menjadi Q*.
Sementara untuk kurva permintaan yang “turun dari kiri atas ke kanan bawah” dijelaskan oleh dia sebagai “harga dapat diturunkan dengan mengurangi permintaan”. Secara grafis, hal ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Pada mulanya harga yang diminta oleh petani adalah sebesar P1. Pada harga ini jumlah permintaan dan penawaran terhadap produk petani tersebut adalah sebesar Q1. Dengan menurunkan jumlah permintaan dari Q1 menjadi hanya sebesar Q2 (yakni dengan menggeser kurva permintaan D1 ke kiri bawah menjadi kurva D2), maka tingkat harga akan turun pula dari P1 menjadi P2. Dengan demikian harga dapat diturunkan dengan mengurangi permintaan.
Al-Ghazali juga telah memahami konsep elastisitas permintaan. Simak kutipan berikut: “Mengurangi margin keuntungan dengan menjual pada harga yang lebih murah akan meningkatkan volume penjualan dan ini pada gilirannya akan meningkatkan keuntungan.”
Bahkan ia telah pula mengindentifikasikan produk makanan sebagai komoditas dengan kurva permintaan yang inelastis. “Karena makanan adalah kebutuhan pokok, perdagangan makanan harus seminimal mungkin didorong oleh motif mencari keuntungan untuk menghindari eksploitasi melalui pengenaan harga yang tinggi dan keuntungan yang besar. Keuntungan semacam ini seyogyanya dicari dari barang-barang yang bukan merupakan kebutuhan pokok.”
Al-Ghazali dan juga para pemikir sezamannya ketika membicarakan harga biasanya langsung mengaitkannya dengan keuntungan. Keuntungan belum secara jelas dikaitkan dengan pendapatan dan biaya. Bagi Al-Ghazali, keuntungan adalah kompensasi dari kepayahan perjalanan, resiko bisnis dan ancaman keselamatan diri si pedagang.




DAFTAR PUSTAKA

Amalia, Euis. 2010. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik hingga Kontemporer. Depok: Gramata Publishing.

Karim, Adiwarman. 2007. Ekonomi Mikro Islam. Depok: PT. Rajagrafindo Persada.
________. 2014. Ekonomi Islam. Jakarta: Rajawali Pers.