Kontrak
Bisnis dalam Islam
(Musyarakah,
Mudharabah, Muzara’ah, & Musaqah)
Tugas
Mata Kuliah Fiqh Muamalah II
Disusun oleh:
Kelompok 6 PBS 4 A
Aisyah Marsela
Rabawati Sukarta
Dosen Pengampu:
Khairiah Elwardah, M.Ag.
PRODI PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
BENGKULU
2016 M/1437 H
KATA
PENGANTAR
Assalammu’alaikum Wr.Wb.
Alhamdulillahirobbil’alamin. Puji syukur kita ucapkan kehadirat
Allah SWT. atas berkat dan rahmat-Nyalah
kita senantiasa diberi kesehatan jasmani maupun rohani dan berkah yang tak
terhingga. Shalawat serta salam tak lupa kami hanturkan kepada junjungan kita
Nabi besar Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari alam kegelapan menuju
alam yang terang benerang seperti yang kita rasakan saat ini. Pembuatan makalah
ini adalah sebagai pemenuhan tugas mata kuliah “Fiqh Muamalah II”, guna lebih
mengetahui dan memahami tentang Kontrak
Bisnis dalam Islam (Musyarakah, Mudharabah, Muzara’ah, dan Musaqah).
Kami berharap dengan selesainya tugas makalah ini dapat memudahkan
kita semua untuk lebih memahami mata kuliah “Fiqh Muamalah II” khususnya materi
yang akan dibahas pada makalah ini. Kami juga menyadari dalam pembuatan makalah
ini masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi penulisan, pemilihan kata,
kerapian, dan isi. Oleh karena itu, kepada para pembaca makalah ini, kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna kesempurnaan
makalah ini dan perbaikan dalam berbagai hal untuk kedepannya.
Wasalammua’alaikum
Wr.Wb.
Bengkulu, April 2016
Penulis
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
B.
Rumusan
Masalah
C.
Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A.
Kontrak
Bisnis dalam Islam
B.
Pengertian
Musyarakah, Mudharabah, Muzara’ah, dan Musaqah
C.
Dasar
Hukum Musyarakah, Mudharabah, Muzara’ah, dan Musaqah
D.
Rukun
dan Syarat Musyarakah, Mudharabah, Muzara’ah, dan Musaqah
E.
Jenis-jenis
Musyarakah, Mudharabah, Muzara’ah, dan Musaqah
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan
B.
Saran
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Salah satu fakta
mencolok terkait dengan munculnya perbankan dan keuangan Islam adalah bahwa
perbankan dan keuangan Islam mewakili penegasan hukum Islam dalam bidang
komersial, ketika sekulerisme (ideologi yang menyatakan bahwa sebuah masyarakat
harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan) nyaris menguasai hidup umat
manusia.
Islam sendiri
diturunkan untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, baik itu dari sisi
ibadah, akhlak maupun syariah. Maka sudah seharusnya tidak hanya ibadah atau
keyakinan kita saja yang berlandaskan Islam. Tetapi juga aspek hubungan antar
manusia dengan manusia, khususnya yaitu dalam bermuamalah.
Pembasan dalam
makalah ini adalah mengenai kontrak bisnis dalam Islam yang ada dengan tujuan
jelas yaitu untuk mengatur hubugan manusia yang melakukan perjanjian. Akan
tetapi, yang lebih ditekankan yaitu mengenai mudharabah, musyarakah, muzara’ah,
dan musaqah.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah
dikemukakan, dapat dirumuskan rumusan masalah yaitu:
1.
Bagaimana
kontrak bisnis dalam Islam?
2. Apa pengertian dari musyarakah, mudharabah, muzara’ah, dan musaqah?
3.
Apa
saja dasar hukum dari musyarakah, mudharabah, muzara’ah, dan musaqah?
4.
Apa
saja rukun dan syarat dari musyarakah, mudharabah, muzara’ah, dan musaqah?
5.
Apa
saja jenis-jenis musyarakah, mudharabah, muzara’ah, dan musaqah?
C.
Tujuan
1.
Menjelaskan
kontrak bisnis dalam Islam.
2.
Menjelaskan
pengertian dari musyarakah, mudharabah, muzara’ah, dan musaqah.
3.
Menjelaskan
mengenai dasar hukum dari musyarakah, mudharabah, muzara’ah, dan musaqah.
4.
Menjelaskan
rukun dan syarat musyarakah, mudharabah, muzara’ah, dan musaqah.
5.
Menjelaskan
jenis-jenis musyarakah, mudharabah, muzara’ah, dan musaqah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kontrak Bisnis dalam Islam
Akad atau
kontrak berasal dari bahasa Arab yang berarti ikatan atau simpulan baik ikatan
yang nampak (hissyy) maupun tidak nampak (ma’nawy). Kamus al-Mawrid,
menterjemahkan al-‘Aqd sebagai contract and agreement atau kontrak dan
perjanjian. Sedangkan akad atau kontrak menurut istilah adalah suatu
kesepakatan atau komitmen bersama baik lisan, isyarat, maupun tulisan antara
dua pihak atau lebih yang memiliki implikasi hukum yang mengikat untuk
melaksanakannya.
Subhi
Mahmasaniy mengartikan kontrak sebagai ikatan atau hubungan di antara ijab dan
qabul yang memiliki akibat hukum terhadap hal-hal yang dikontrakkan. Dalam
hukum Islam istilah kontrak tidak dibedakan dengan perjanjian, keduanya identik
dan disebut akad. Akad adalah pertalian ijab dan kabul dari pihak-pihak yang
menyatakan kehendak yang akan memiliki akibat hukum terhadap objeknya.
Kontrak dalam
bisnis Islam itu bermacam-macam, tetapi yang akan dibahas selanjutnya yaitu
mengenai kotrak atau akad mudharabah, musyarakah, muzara’ah, dan musaqah.
B.
Pengertian Musyarakah, Mudharabah, Muzara’ah, dan Musaqah
1.
Musyarakah
Istilah lain dari musyarakah
adalah syarikah atau syirkah. Menurut bahasa arab, syirkah
berasal dari kata syarika (fi’il madhi), yasyruku (fi’il
mudhari’), syarikan/syirkatan/syarikatan (masdar/kata dasar); yang
artinya menjadi sekutu atau syarikat (kamus al munawar) menurut arti asli
bahasa arab, syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sehingga
tidak boleh dibedakan lagi satu bagian dengan bagian lainnya.
Sedangkan pengertian secara terminologi menurut beberapa tokoh adalah:
a) Menurut Ulama Malikiyah, syirkah adalah suatu keizinan untuk
bertindak secara hukum bagi dua orang yang bekerjasama terhadap harta mereka.
b) Menurut Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah syirkah adalah hak bertindak
hukum bagi dua orang atau lebih pada sesuatu yang mereka sepakati.
c) Menurut Ulama Hanafiyah syirkah adalah akad yang dilakukan oleh
orang-orang yang bekerjasama dalam modal dan keuntungan.
d) Menurut sayyid sabiq syirkah
adalah akad antara dua orang dalam (penanaman) modal dan (pembagian)
keuntungan.
e) Menurut taqiyuddin abi bakr Muhammad al husaini syirkah adalah
ungkapan tentang penetapan suatu hak pada sesuatu yang satu untuk dua orang
atau lebih menurut cara yang telah diketahui.
f) Menurut wahbah az zuhaili syirkah adalah kesepakatan dalam pembagian hak
dan usaha.
Menurut kompilasi hukum ekonomi syariah, yang dinamakan syirkah
yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih dalam hal permodalan,
keterampilan, atau kepercayaan dalam usaha tertentu dengan pembagian keuntungan
berdasarkan nisbah yang disepakati oleh pihak-pihak yang bersyerikat.
Musyarakah adalah akad kerjasama
yang terjadi diantara para pemilik modal (mitra musyarakah) untuk
menggabungkan modal dan melakukan usaha secara bersama dalam suatu kemitraan,
dengan nisbah pembagian hasil sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian
ditanggung secara proporsional sesuai dengan kontribusi modal.
2.
Mudharabah
Secara etimologis, mudharabah
berasal dari kata dharaba – yadhribu – dharban yang artinya memukul.
Dengan ditambahnya alif pada dho’, maka kata ini memiliki konotasi “saling
memukul” yang berarti mengandung subjek lebih dari satu orang. Para fukoha
memandang mudharabah dari akar kata ini dengan merujuk kepada
pemakaiannya dalam al-Qur’an yang selalu disambung dengan kata depan “fi”
kemudian dihubungkan dengan “al-ardh” yang memiliki pengertian berjalan di muka
bumi.
Mudharabah
merupakan bahasa yang biasa dipakai oleh penduduk Irak sedangkan penduduk Hijaz
lebih suka menggunakan kata “qirodh” untuk merujuk pola perniagaan yang sama.
Mereka menamakan qiradh yang berarti memotong karena si pemilik modal memotong
dari sebagian hartanya untuk diniagakan dan memberikan sebagian dari labanya.
Kadang-kadang juga dinamakan dengan
muqaradhah yang berarti sama-sama memiliki hak untuk mendapatkan laba
karena si pemilik modal memberikan modalnya sementara pengusaha meniagakannya
dan keduanya sama-sama berbagi keuntungan. Dalam istilah fikih muamalah, mudharabah adalah suatu
bentuk perniagaan di mana si pemilik modal menyetorkan modalnya kepada
pengusaha atau pengelola, untuk diniagakan dengan keuntungan akan dibagi
bersama sesuai dengan kesepakatan dari kedua belah pihak sedangkan kerugian,
jika ada, akan ditanggung oleh si pemilik modal. Para ulama sepakat bahwa
landasan syariah mudharabah dapat ditemukan dalam al-Qur’an,
as-Sunnah, Ijma’ dan qiyas.
3.
Muzara’ah
Muzara’ah secara bahasa merupakan suatu bentuk kata
yang mengikuti wazan (pola) mufa’alah dari kata dasar al-zar’u yang mempunyai arti al-inbat (menumbuhkan). Kata ةعرازم adalah masdar dari Fi’il
Madli عراز
dan fi’il
Mudlori’ عرازي yang secara bahasa
mempunyai pengertian tanam, menanam.
Secara etimologi, muzara’ah berarti kerja sama
dibidang pertanian antara pemilik tanah dengan petani penggarap. Sedangkan
dalam terminologi fiqh terdapat beberapa definisi muzara’ah yang
dikemukakan dalam fiqh.
Ulama Malikiyah mendefinisikannya dengan:
الشَّرْكَةُ فِى الزُّرْعِ
“perserikatan dalam pertanian.”
Menurut ulama Hanabiah muzara’ah adalah:
دَفْعُ الأرْضَ إِلَى مِنْ يَزْرَعُهَا أَوْ
يَعْمَلُ عَلَيْهَا وَالزَّرْعُ بَيْنَهُمَا
“penyerahan tanah pertanian
kepada seorang petani untuk digarap dan hasilnya dibagi berdua.”
Kedua definisi ini dalam kebiasaan Indonesia disebut
sebagai “paroan sawah”, penduduk Irak menyebutnya “mukhobarah”. Dalam al-mukhabarah, bibit yang akan ditanam
disediakan oleh penggarap tanah, sedang dalam muzara’ah bibit yang akan ditanam boleh dari pemilik.
4.
Musaqah
Menurut bahasa musaqah
diambil dari kata al-saqah, yaitu seseorang bekerja pada pohon tamar,
anggur (mengurusnya). Atau pohon-pohon yang lainnya yang mendatangkan
kemaslahatan dan mendapatkan bagian tertentu dari hasil yang diurus sebagai imbalan.
Menurut terminologi musaqah adalah akad untuk pemeliharaan tanaman
(pertanian) dan yang lainnyaa dengan syarat-syarat tertentu.
Dengan demikian
musaqah adalah sebuah bentuk kerjasama petani pemilik kebun dengan
petani penggarap dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dan dirawat sehingga
memberikan hasil yang maksimal. Kemudian segala sesuatu yang dihasilkan pihak
kedua adalah merupakan hak bersama antara pemilik dan penggarap sesuai dengan
kesepakatan yang mereka buat.
Penggarap
disebut musāqi. Dan pihak lain disebut pemilik pohon. Yang disebut kata
pohon dalam masalah ini adalah: Semua yang ditanam agar dapat bertahan selama
satu tahun keatas, untuk waktu yang tidak ada ketentuannya dan akhinya dalam
pemotongan/penebangan. Baik pohon itu berbuah atau tidak.
Kerjasama dalam
bentuk musāqāh ini berbeda dengan mengupah tukang kebun untuk merawat tanaman,
karena hasil yang diterimanya adalah upah yang telah pasti ukurannya dan bukan
dari hasilnya yang belum tentu.
C.
Dasar Hukum Musyarakah, Mudharabah, Muzara’ah, dan Musaqah
1.
Musyarakah
1)
Al-Qur’an
قالَ لَقَدۡ
ظَلَمَكَ بِسُؤَالِ نَعۡجَتِكَ إِلَىٰ نِعَاجِهِۦۖ وَإِنَّ كَثِيرٗا مِّنَ
ٱلۡخُلَطَآءِ لَيَبۡغِي بَعۡضُهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٍ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ
وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَقَلِيلٞ مَّا هُمۡۗ وَظَنَّ دَاوُۥدُ أَنَّمَا
فَتَنَّٰهُ فَٱسۡتَغۡفَرَ رَبَّهُۥ وَخَرَّۤ رَاكِعٗاۤ وَأَنَابَ۩ ٢٤.
Daud berkata: "Sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan
meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya
kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim
kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini". Dan Daud mengetahui
bahwa Kami mengujinya; maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur
sujud dan bertaubat.
2) Al-Hadist
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ سُلَيْمَانَ الْمِصِّيصِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
الزِّبْرِقَانِ عَنْ أَبِي حَيَّانَ التَّيْمِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رَفَعَهُ قَالَ إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ أَنَا ثَالِثُ الشَّرِيكَيْنِ
مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ فَإِذَا خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا
(سنن أبي داود : ٢٩٣٦)
Telah menceritakan
kepada kami [Muhammad bin Sulaiman Al Mishshishi], telah menceritakan kepada
kami [Muhammad bin Az Zibriqan], dari [Abu Hayyan At Taimi], dari [ayahnya]
dari [Abu Hurairah] dan ia merafa'kannya. Ia berkata; sesungguhnya Allah
berfirman: "Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersekutu, selama
tidak ada salah seorang diantara mereka yang berkhianat kepada sahabatnya.
Apabila ia telah mengkhianatinya, maka aku keluar dari keduanya." (Sunan
Abu Daud : 2936)
2.
Mudharabah
1) Al-Qur’an
“Apabila telah ditunaikan shalat
maka bertebarkanlah kamu dimuka bumi dan carilah karunia Allah SWT.” (QS 62:10)
“Tidak ada dosa bagimu untuk
mencari karunia (rezeki hasil perniagaan).” (QS 2:198).
2) As-Sunnah
Dari shalih bin suaib r.a bahwa
Rasulullah SAW bersabda, “Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkatan: Jual
beli secara tanngguh, muqaradhah (mudharabah) dan mencampur adukan
dengan tepung untuk keperluan rumah bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah).
3) Ijma
Diantara ijma mudharabah
adanya riwayat yang menyatakan bahwa jemaah dari sahabat menggunakan harta anak
yatim untuk mudharabah, perbuatan tersebut tidak ditentang oleh sahabat
lainnya.
4) Qiyas
Mudharabah
diqiyaskan kepada al-musyaqoh (menyuruh seorang untuk mengelola kebun)
selain diantara manusia ada yang miskin ada pula yang kaya, disuatu sisi lain
banyak orang kaya yang tidak dapat mengusahakan hartanya, di sisi lain tidak
sedikit orang miskin yang mau bekerja, tetapi tidak memiliki modal. Dengan
demikian adanya mudharabah ditujukan antara lain untuk memenuhi kebutuhan kedua
golongan diatas, yakni untuk kemashalatan manusia dalam rangka memenuhi
kebutuhan mereka.
3.
Muzara’ah
a)
Al Qur ‘an
وَآخَرُونَ
يَضْرِبُونَ فِي الأرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ ...
Artinya:“...Dan yang lain lagi, mereka bepergian dimuka bumi mencari
karunia dari Allah...” (Al-Muzammil : 20 )
أَهُمْ يَقْسِمُونَ
رَحْمَةَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا
وَرَحْمَةُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
Artinya:“Apakah mereka yang membagi-bagikan rahmat Tuhanmu atau kami
telah menentukan antara mereka penghidupan dalam kehidupan dunia, dan kami
telah meninggalkan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat,
agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu
lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Az-zuhruf : 32)
Kedua ayat tersebut diatas menjelaskan bahwa Tuhan memberi kebebasan kepada
manusia supaya berusaha mencari rahmat-Nya untuk bertahan hidup dimuka bumi.
b)
Hadits
Dasar
hukum yang digunakan para ulama dalam menetapkan hukum muzara’ah adalah sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas ra.
“Sesunggunya
Nabi SAW menyatakan, tidak mengharamkan bermuzara’ah, bahkan beliau
menyuruhnya, supaya yang sebagian menyayangi sebagian yang lain, dengan
katanya, barang siapa yang memiliki tanah hendaklah ditanaminya atan diberikan
faedahnya kepada saudaranya, jika ia tidak mau, maka boleh ditahan saja tanah
itu.”
4.
Musaqah
Dalam menentukan keabsahan akad musāqah dari segi syara’, terdapat
perbedaan ulama fiqh. Imam Abu Hanifah dan Zufar ibn Huzail mereka berpendirian
bahwa akad musāqāh dengan ketentuan petani penggarap mendapatkan
sebagian hasil kerjasama ini adalah tidak sah, karena musāqāh seperti
ini termasuk mengupah seseorang dengan imbalan sebagian hasil yang akan dipanen
dari kebun itu.
Akan tetapi menurut kebanyakan ulama, hukum musāqāh itu boleh atau
mubah, berdasarkan sabda Rasulullah saw:
Artinya: Dari
Ibnu Umar, sesungguhnya Nabi saw telah memberikan kebun beliau kepada penduduk
Khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian: mereka akan memperoleh
dari penghasilannya, baik dari buah-buahan maupun hasil tanaman. (HR.Muslim)
Musāqāh juga didasarkan atas ijma’ (kesepakatan para ulama), karena sudah
merupakan suatu transaksi yang amat dibutuhkan oleh umat untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari dan sebagai bentuk sosial antara sesama manusia dengan jalan
memberi pekerjaan kepada mereka yang kurang mampu. hal ini sesuai dengan Firman
Allah dalam surat al-Maidah ayat 2, yaitu:
وَ تَعاوَنُوا عَلَى
الْبِرِّ وَ التَّقْوى وَ لا تَعاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَ الْعُدْوانِ وَ اتَّقُوا
اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَديدُ الْعِقابِ
Artinya: Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. al-Māidah: 2).
Ayat diatas menjelaskan tentang perintah Allah kepada hamba-hambanya
yang beriman untuk saling tolong-menolong dalam perbuatan baik dan meninggalkan
kemungkaran. Dengan wujud saling tolong-menolong orang berilmu membantu orang
dengan ilmunya, orang kaya membantu dengan kekayaannya. Dan hendaknya kaum
Muslimin menjadi satu tangan dalam membantu orang yang membutuhkan.
D.
Rukun dan Syarat Musyarakah, Mudharabah, Muzara’ah, dan Musaqah
1.
Musyarakah
1) Rukun
Rukun merupakan sesuatu yang wajib dilakukan dalam suatu transaksi (necessary
condition), begitu pula pada transaksi yang terjadi pada kerja sama bagi
hasil al-Musyarakah. Pada umumnya, rukun dalam muamalah iqtishadiyah (muamalah dalam bidang ekonomi) ada tiga yaitu:
Ø Shigat (lafal) ijab dan qabul
Ø Pelaku akad, yaitu para mitra usaha
Ø Obyek akad, yaitu modal (mal), kerja (dharabah), dan
keuntungan (ribh).
Dalam akad kerja sama musyarakah, pernyataan ijab qabul harus menunjukkan
kehendak mereka dalam mengadakan kontrak. Pihak-pihak yang melakukan akad juga
harus cakap hukum seperti berkompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan
perwakilan. Selain itu juga setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan.
Selain itu juga setiap mitra kerja boleh mewakilkan kerjanya kepada mitra yang
lain dengan perjanjian yang disepakati bersama.
2) Syarat
Ø Harus mengenai tasharuf yang dapat diwakilkan.
Ø Pembagian keuntungan yang jelas.
Ø Pembagian keuntungan tergantung kepada kesepakatan, bukan kepada besar
kecilnya modal atau kewajiban.
2.
Mudharabah
1)
Rukun Mudharabah
Ulama
hanafiyah berpendapat bahwa rukun mudharabah adalah ijab dan qobul,
yakni lafad yang menunjukan ijab dan qobul dengan menggunakan mudharabah,
muqaridhah, muamalah, atau kata-kata yang searti dengannya.
Jumhur
ulama berpendapat bahwa rukun mudharabah ada tiga, yaitu dua orang melakukan
akad (al-aqidani), modal (ma’qud alaih), dan shiqad (ijab
dan qabul), sedanngkan ulama syafi’iyah lebih merici lagi menjadi lima rukun
yaitu: modal, pekerjaan, laba, shighat, dan dua orang yang akad.
2)
Syarat Mudharabah
Syarat
mudharabah ada tiga, yaitu sebagai berikut:
Ø Syarat
Aqidani
Di
syaratkan bagi orang yang melakukan akad, yakni pemilik modal dan pengusaha
adalah ahli dalam mewakilkan atau menjadi wakil sebab mudharib mengusahakan
harta pemilik modal, yakni menjadi wakil.
Ø Syarat
Modal
a.
Modal harus
berupa uang, seperti dinar, dirham, atau sejenisnya, yakni segala sesuatu yang
memungkinkan dalam perkongsian.
b. Modal
harus diketahui dengan jelas dan memiliki ukuran.
c. Modal
harus ada, bukan berupa utang, tetapi tidak harus ada tempat akad. Juga
dibolehkan mengusahakan harta yang dititipkan kepada oranng lain, seperti
mengatakan:”Ambil harta saya di si fulan kemudian jadikan modal usaha”
d. Modal
harus diberikan kepada pengusaha, hal itu dimaksudkan agar pengusaha dapat
mengusahakannya, yakni menggunakan harta tersebut sebagai amanah
Ø Syarat-syarat
Laba
a. Laba
harus memiliki ukuran
Mudharabah
yang dimaksudkan untuk mendapatkan laba, dengan demikian pengusaha dibolehkan
menyerahkan laba sebesar Rp.5000,00 misalnya untuk dibagi diantara keduanya
tanpa menyebutkan ukuran laba yang diterimanya.
b. Laba
harus berupa bagian yang umum (Masyhur)
Pembagian laba harus sesuai dengan
keadaan yang berlaku secara umum, seperti kesepakatan diantara orang yang
melangsungkan akad bahwa setengah laba adalah untuk pemilik modal, sedanngkan
setengah lainnya lagi diberikan kepada pengusaha. Akan tetapi tidak boleh
menetapkan jumlah tertentu bagi satu pihak lain, seperti menetapkan laba
Rp.1000 bagi pemilik modal dan menyerahkan sisanya bagi pengusaha.
3.
Muzara’ah
Jumhur ulama,
yang memboleh akad mengemukakan rukun dan syarat harus dipenuhi, sehingga akad
dianggap sah. Rukun muzara’ah menurut mereka
adalah: (a) pemilik tanah, (b) petani penggarap, (c) objek muzara’ah,
yaitu antara manfaat tanah dengan hasil kerja petani, dan (d) ijab (ungkapan
penyerahan tanah dari pemilik tanah) kabul (pernyataan penerima tanah untuk
digarap dari petani).
Contoh ijab kabul
itu adalah; “Saya serahkan tanah pertanian saya ini kepada engkau untuk
digarap, dan hasilnya nanti kita bagi berdua”. Kemudian petani penggarap
menjawab: “Saya terima tanah pertanian ini untuk di garap dengan imbalan
hasilnya dibagi berdua”. Jika hal itu telah terlaksana, maka akad itu telah sah
dan mengikat. Namun, ulama Hanabilah mengatakan bahwa peneriamaan (kabul) akad muzara’ah
tidak perlu dengan ungkapan, tetapi boleh juga dengan tindakan, yaitu
petani langsung menggarap tanah.
Adapun
syarat-syarat muzara’ah, menurut jumhur ulama, ada yang menyangkut orang
yang berakad, benih yang akan ditanam, tanah yang akan dikerjakan, hasil yang
akan dipanen, dan yang menyangkut jangka waktu berlakunya akad.
Untuk orang
yang melakukan akad disyaratkan bahwa keduanya harus orang yang telah baligh
dan berakal, karena kedua syarat inilah yang membuat seseorang dianggap telah
cakap bertindak hukum. Pendapat lain dari kalangan ulama Hanafiyah menambahkan
bahwa salah seorang atau keduanya bukan orang yang murtad (keluar dari agama
islam), karena tindakan hukum orang yang murtad dianggap mauquf (tidak punya
efek hukum, sampai ia masuk islam).
Akan tetapi,
Abu Yusuf dan Muhammad ibn Al-Hasan asy-Syaibani tidak menyetujui syarat
tambahan ini, karena menurut mereka, akad muzara’ah boleh dilakukan
antara muslim dengan non muslim; termasuk orang murtad.
Syarat yang
menyangkut benih yang akan ditanam harus jelas, sehingga -sesuai dengan
kebiasaan tanah itu- benih yang ditanam itu jelas dan akan menghasilkan. Sedangkan
syarat-syarat yang menyangkut tanah pertanian adalah:
a)
Menurut
adat dikalangan para petani, tanah itu boleh digarap dan menghasilkan. Jika
tanah itu adalah tanah yang tandus dan kering, sehingga tidak memungkinkan
dijadikan tanah pertanian, maka akad muzara’ah tidak sah.
b)
Batas-batas
tanah itu jelas.
c)
Tanah
itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap. Adapun disyaratkan bahwa
pemilik tanah ikut mengolah pertanian itu, maka akad muzara’ah tidak
sah.
Syarat-syarat
yang menyangkut dengan hasil panen adalah sebagai berikut:
a)
Pembagian
hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas.
b)
Hasil
itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa boleh ada pengkhususan.
c)
Pembagian
hasil panen itu ditentukan setengah, sepertiga, atau seperempat sejak dari awal
akad, sehingga tidak timbul perselisihan di kemudian hari, dan penentuannya
tidak boleh berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak, seperti 1 kuintal untuk
pekerja, atau 1 karung, karena kemungkinan seluruh hasil panen jauh di bawah
jumlah itu atau dapat juga jauh melampaui jumlah itu.
Syarat yang
menyangkut jangka waktu juga harus dijelaskan dalam akad sejak semula, karena
akad muzara’ah mengandung akad ijarah (sewa-menyewa atau
upah-mengupah) dengan imbalan sebagian hasil panen. Oleh sebab itu, jangka
waktunya harus jelas. Untuk penentuan jangka waktu ini, biasanya disesuaikan
dengan adat kebiasaan setempat.
Untuk objek
akad, jumhur ulama yang membolehkan muzara’ah, mensyaratkan juga harus
jelas, baik berupa jasa petani, sehingga benih yang akan ditanam datangnya dari
pemilik tanah, maupun pemanfaatan tanah, sehingga benihnya dari petani.
4.
Musaqah
Terdapat
beberapa perbedaan dikalangan ulama fiqh terhadap rukun-rukun musāqāh.
Ulama Hanafiyah
berpendirian bahwa yang menjadi rukun dalam akad adalah ijāb dari pemilik tanah
perkebunan dan qabūl dari petani penggarap, dan pekerjaan dari pihak petani
penggarap.
Jumhur ulama
yang terdiri atas ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah berpendiriran
bahwa transaksi musāqāh harus memenuhi lima rukun, yaitu:
a)
Sighāt
(ungkapan) ijāb dan qābūl.
b)
Dua
orang/pihak yang melakukan transaksi.
c)
Tanah yang dijadikan objek musāqāh.
d)
Jenis usaha yang akan dilakukan petani penggarap.
e)
Ketentuan mengenai pembagian hasil musāqāh.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh masing-masing
rukun adalah:
d) Kedua belah pihak yang melakukan transaksi harus orang
yang cakap bertindak hukum, yakni dewasa (akil baligh) dan berakal.
e) Objek musaqah
Objek musāqāh menurut ulama Hanafiah adalah pohon-pohon yang
berbuah, seperti kurma. Akan tetapi, menurut sebagian ulama Hanafiyah
muta’akhkhirin menyatakan musāqāh juga berlaku atas pohon yang tidak
mempunyai buah, jika hal itu dibutuhkan masyarakat.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa objek musāqāh adalah tanaman keras
dan palawija, seperti anggur, kurma, dan lain-lain, dengan syarat: (1)Akad
dilakukan sebelum buah itu layak dipanen; (2)Tenggang waktu yang ditentukan
jelas; (3)Akadnya dilakukan setelah tanaman itu tumbuh; (4)Pemilik perkebunan
tidak mampu untuk mengolah dan memelihara tanaman itu.
Objek musāqāh menurut ulama Hanabilah bahwa musāqāh dimaksudkan
pada pohon-pohon berbuah yang dapat dimakan. Oleh sebab itu, musāqāh tidak
berlaku terhadap tanaman yang tidak memeiliki buah.
Sedangkan ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa yang boleh dijadikan obyek
akad musāqāh adalah kurma dan anggur saja. Kurena didasarkan pada
perbuatan Rasulullah saw terhadap orang Khaibar.
f) Hasil yang dihasilkan dari kebun itu merupakan hak
mereka bersama, sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat, baik dibagi dua,
tiga dan sebagainya.
g) Shighat dapat dilakukan dengan jelas (shārih)
dan dengan samaran (kināyah). Disyariatkan shighāt dengan lāfaẓ
dan tidak cukup dengan perbuatan saja.
E.
Jenis-jenis Musyarakah, Mudharabah, Muzara’ah, dan Musaqah
1.
Musyarakah
a.
Syirkah al-milk
Syirkah al-milk (kerjasama non
kontraktual), mengimplikasikan kepemilikan bersama dan terjadi ketika dua atau
lebih orang secara kebetulan mendapatkan kepemilikan bersama beberapa aset
tanpa melalui persetujuan kerja sama. Contohnya yaitu seperti menerima hibah
atau wasiat secara bersama-sama.
b.
Syirkah al uqud
Syirkah al uqud menunjukkan
kebersamaan dua atau lebih orang untuk menjalankan suatu usaha yang bertujuan
membagi keuntungan dengan investasi bersama sebagai kelaziman pada periode
pembentukan kerjasama tersebut, berupa kerjasama dalam jumlah modal tertentu.
2.
Mudharabah
Jenis Mudharabah diklasifikasikan
ke dalam 3 jenis yaitu: mudharabah Muthalaqoh, Mudharabah Muqayyadah, dan
Mudharabah Musytarakah.
a. Mudharabah Muthalaqoh
adalah mudharabah di mana pemilik dananya memberikan kebebasan kepada
pengelola dana dalam pengelola investasinya. Dan mudharabah ini disebut
juga investasi tidak terikat.
b. Mudharabah Muqayyadah
adalah mudharabah di mana pemilik dana memberikan batasan kepada
pengelola antara lain mengenai dana, lokasi, cara, atau objek investasi atau
sektor usaha.
c. Mudharabah Musytarakah
adalah mudharabah di mana pengelola dana menyerahkan modal atau dananya
dalam kerja sama investasi.
3.
Muzara’ah
Ada empat
bentuk muzâra’ah menurut Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan, dua murid
Imam Abu Hanifah, tiga diantaranya termasuk akad shahih dan satu lainnya akad
bathil.
a.
Apabila
tanah dan benih dari pihak pertama sedangkan pengerjaan lahan dan hewan
(peralatan) dari pihak kedua, maka muzâra’ah seperti ini diperbolehkan.
Di sini pemilik tanah dan benih seakan-akan bertindak sebagai penyewa kepada si
penggarap. Adapun hewan (peralatan) adalah bagian yang tak terpisahkan dari
pihak penggarap. Karena hewan (peralatan)
adalah wasilah untuk bekerja.
b.
Apabila
tanah dari pihak pertama sedangkan hewan (peralatan), benih dan pengerjaan
lahan dari pihak kedua, maka muzâra’ah seperti ini juga diperbolehkan.
Di sini penggarap tanah seakan-akan menjadi penyewa tanah dengan keuntungan
pembagian hasil yang akan dipanen nanti.
c.
Apabila
tanah, hewan (peralatan) dan benih dari pihak pertama sedangkan pengerjaan
lahan dari pihak kedua, maka muzâra’ah seperti ini juga diperbolehkan.
Di sini pemilik tanah seakan-akan bertindak sebagai penyewa pekerjaan si penggarap
dengan pembagian hasil yang disepakati kedua pihak.
d.
Apabila
tanah dan hewan (peralatan) dari pihak pertama sedangkan benih dan pengerjaan
lahan dari pihak kedua, maka muzâra’ah seperti ini tidak diperbolehkan.
Ini termasuk akad yang fasid. Apabila
kita qiaskan akad muzâra’ah dengan akad sewa tanah, maka pensyaratan
adanya hewan (peralatan) kepada pemilik tanah dapat merusak akad sewa (ijârah).
Karena tidak mungkin untuk menjadikan hewan (peralatan) bagian dari tanah sebab
adanya perbedaan manfaat antara keduanya. Dengan kata lain bahwa manfaat hewan
(peralatan) bukan termasuk jenis manfaat yang ada dalam pemanfaatan tanah itu
sendiri. Tanah berfungsi sebagai lahan untuk bercocok tanam sedangkan hewan
(peralatan) berfungsi untuk bekerja dan mengolah tanah. Adapun jika akad ini
diqiyaskan ke akad sewa pekerja, maka pensyaratan adanya benih juga merusak
akad sewa, karena benih bukan termasuk bagian dari manfaat pekerja (penggarap).
4.
Musaqah
a.
Musāqāh yang bertitik pada manfaatnya, yaitu pada hasilnya berarti pemilik tanah
(tanaman) sudah menyerahkan kepada yang mengerjakan segala upaya agar tanah
(tanaman) itu membawa hasil yang baik. Kalau demikian orang yang mengerjakan
berkewajiban mencari air, termasuk membuat sumur, parit ataupun bendungan yang membawa
air, jadi pemilik hanya mengetahui hasilnya.
b.
Musāqāh yang bertitik tolak pada asalnya, yaitu untuk mengairi saja, tanpa ada
tanggung jawab untuk mencari air. Maka pemiliknyalah yang berkewajiban
mencarikan jalan air, baik yang menggali sumur, membuat parit atau usaha-usaha
yang lain. Musāqāh yang pertama harus diulang-ulang setiap tahunnya
(setiap tahun harus ada penegasan lagi).
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kesimpulan yang
bisa ditarik dari uraian diatas adalah sebagai berikut:
1.
Dari
beberapa pengertian kontrak di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kontrak
merupakan kesepakatan bersama baik lisan, isyarat, maupun tulisan antara dua
pihak atau lebih melalui ijab dan qabul yang memiliki ikatan hukum bagi semua
pihak yang terlibat untuk melaksanakan apa yang menjadi kesepakatan tersebut.
2. Pengertian dari musyarakah adalah akad yang dilakukan oleh orang-orang yang bekerjasama dalam modal dan
keuntungan. Mudharabah adalah suatu bentuk perniagaan
di mana si pemilik modal menyetorkan modalnya kepada pengusaha atau pengelola,
untuk diniagakan dengan keuntungan akan dibagi bersama sesuai dengan
kesepakatan dari kedua belah pihak sedangkan kerugian, jika ada, akan
ditanggung oleh si pemilik modal. Muzara’ah adalah kerja sama dibidang
pertanian antara pemilik tanah dengan petani penggarap. Musaqah
merupakan sebuah bentuk kerjasama petani pemilik
kebun dengan petani penggarap dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dan
dirawat sehingga memberikan hasil yang maksimal.
3.
Musyarakah,
mudharabah, muzara’ah dan musaqah
memiliki rukun dan syarat masing-masing, begitu pula dengan jenisnya.
B.
Saran
Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak
terdapat kesalahan-kesalahan. Oleh karena itu, kami mengharapkan agar pembaca dapat memberikan
kritik maupun saran yang sifatnya membangun agar makalah dapat lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, Yazid.
2009. Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Logung Pustaka.
Ghazali, Abdul
Rahman. 2010. Fiqh Muamalah. Jakarta: Kencana.
Haroen, Nasrun.
2007. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Nuh, Abd. Bin
dan Oemar Bakry, 1961. Kamus Indonesia-Arab-Inggris. Jakarta: Mutiara.
Sabiq, Sayyid.
1987. Fikih Sunnah. Bandung: PT.Alma’arif.
Suhendi, Hendi.
2005. Fiqh Muamalah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Syafe’i,
Rachmad. 2002. Fiqh Muamalah. Bandung: Pustaka Setia.
Syarifuddin,
Amir. 2003. Garis-garis Besar Fiqh. Bogor: Kencana.