Feel before thinking. Think before speaking.

Sabtu, 04 Juni 2016

KONTRAK BISNIS DALAM ISLAM

Kontrak Bisnis dalam Islam
(Musyarakah, Mudharabah, Muzara’ah, & Musaqah)
Tugas Mata Kuliah Fiqh Muamalah II

Disusun oleh:
Kelompok 6 PBS 4 A
Aisyah Marsela
Rabawati Sukarta

Dosen Pengampu:
Khairiah Elwardah, M.Ag.

PRODI PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BENGKULU
2016 M/1437 H


KATA PENGANTAR

Assalammu’alaikum Wr.Wb.
Alhamdulillahirobbil’alamin. Puji syukur kita ucapkan kehadirat Allah SWT.  atas berkat dan rahmat-Nyalah kita senantiasa diberi kesehatan jasmani maupun rohani dan berkah yang tak terhingga. Shalawat serta salam tak lupa kami hanturkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari alam kegelapan menuju alam yang terang benerang seperti yang kita rasakan saat ini. Pembuatan makalah ini adalah sebagai pemenuhan tugas mata kuliah “Fiqh Muamalah II”, guna lebih mengetahui dan memahami tentang  Kontrak Bisnis dalam Islam (Musyarakah, Mudharabah, Muzara’ah, dan Musaqah).
Kami berharap dengan selesainya tugas makalah ini dapat memudahkan kita semua untuk lebih memahami mata kuliah “Fiqh Muamalah II” khususnya materi yang akan dibahas pada makalah ini. Kami juga menyadari dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi penulisan, pemilihan kata, kerapian, dan isi. Oleh karena itu, kepada para pembaca makalah ini, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna kesempurnaan makalah ini dan perbaikan dalam berbagai hal untuk kedepannya.
Wasalammua’alaikum Wr.Wb.


Bengkulu, April 2016




Penulis


DAFTAR ISI

HALAMAN  JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
B.     Rumusan Masalah
C.     Tujuan

BAB II PEMBAHASAN
A.    Kontrak Bisnis dalam Islam
B.     Pengertian Musyarakah, Mudharabah, Muzara’ah, dan Musaqah
C.     Dasar Hukum Musyarakah, Mudharabah, Muzara’ah, dan Musaqah
D.    Rukun dan Syarat Musyarakah, Mudharabah, Muzara’ah, dan Musaqah
E.     Jenis-jenis Musyarakah, Mudharabah, Muzara’ah, dan Musaqah

BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan
B.     Saran
DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Salah satu fakta mencolok terkait dengan munculnya perbankan dan keuangan Islam adalah bahwa perbankan dan keuangan Islam mewakili penegasan hukum Islam dalam bidang komersial, ketika sekulerisme (ideologi yang menyatakan bahwa sebuah masyarakat harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan) nyaris menguasai hidup umat manusia.
Islam sendiri diturunkan untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, baik itu dari sisi ibadah, akhlak maupun syariah. Maka sudah seharusnya tidak hanya ibadah atau keyakinan kita saja yang berlandaskan Islam. Tetapi juga aspek hubungan antar manusia dengan manusia, khususnya yaitu dalam bermuamalah.
Pembasan dalam makalah ini adalah mengenai kontrak bisnis dalam Islam yang ada dengan tujuan jelas yaitu untuk mengatur hubugan manusia yang melakukan perjanjian. Akan tetapi, yang lebih ditekankan yaitu mengenai mudharabah, musyarakah, muzara’ah, dan musaqah.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, dapat dirumuskan rumusan masalah yaitu:
1.      Bagaimana kontrak bisnis dalam Islam?
2.      Apa pengertian dari musyarakah, mudharabah, muzara’ah, dan musaqah?
3.      Apa saja dasar hukum dari musyarakah, mudharabah, muzara’ah, dan musaqah?
4.      Apa saja rukun dan syarat dari musyarakah, mudharabah, muzara’ah, dan musaqah?
5.      Apa saja jenis-jenis musyarakah, mudharabah, muzara’ah, dan musaqah?

C.    Tujuan
1.      Menjelaskan kontrak bisnis dalam Islam.
2.      Menjelaskan pengertian dari musyarakah, mudharabah, muzara’ah, dan musaqah.
3.      Menjelaskan mengenai dasar hukum dari musyarakah, mudharabah, muzara’ah, dan musaqah.
4.      Menjelaskan rukun dan syarat musyarakah, mudharabah, muzara’ah, dan musaqah.
5.      Menjelaskan jenis-jenis musyarakah, mudharabah, muzara’ah, dan musaqah.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kontrak Bisnis dalam Islam
Akad atau kontrak berasal dari bahasa Arab yang berarti ikatan atau simpulan baik ikatan yang nampak (hissyy) maupun tidak nampak (ma’nawy). Kamus al-Mawrid, menterjemahkan al-‘Aqd sebagai contract and agreement atau kontrak dan perjanjian. Sedangkan akad atau kontrak menurut istilah adalah suatu kesepakatan atau komitmen bersama baik lisan, isyarat, maupun tulisan antara dua pihak atau lebih yang memiliki implikasi hukum yang mengikat untuk melaksanakannya.
Subhi Mahmasaniy mengartikan kontrak sebagai ikatan atau hubungan di antara ijab dan qabul yang memiliki akibat hukum terhadap hal-hal yang dikontrakkan. Dalam hukum Islam istilah kontrak tidak dibedakan dengan perjanjian, keduanya identik dan disebut akad. Akad adalah pertalian ijab dan kabul dari pihak-pihak yang menyatakan kehendak yang akan memiliki akibat hukum terhadap objeknya.
Kontrak dalam bisnis Islam itu bermacam-macam, tetapi yang akan dibahas selanjutnya yaitu mengenai kotrak atau akad mudharabah, musyarakah, muzara’ah, dan musaqah.

B.     Pengertian Musyarakah, Mudharabah, Muzara’ah, dan Musaqah
1.      Musyarakah
Istilah lain dari musyarakah adalah syarikah atau syirkah. Menurut bahasa arab, syirkah berasal dari kata syarika (fi’il madhi), yasyruku (fi’il mudhari’), syarikan/syirkatan/syarikatan (masdar/kata dasar); yang artinya menjadi sekutu atau syarikat (kamus al munawar) menurut arti asli bahasa arab, syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sehingga tidak boleh dibedakan lagi satu bagian dengan bagian lainnya.
Sedangkan pengertian secara terminologi menurut beberapa tokoh adalah:
a)      Menurut Ulama Malikiyah, syirkah adalah suatu keizinan untuk bertindak secara hukum bagi dua orang yang bekerjasama terhadap harta mereka.
b)      Menurut Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah syirkah adalah hak bertindak hukum bagi dua orang atau lebih pada sesuatu yang mereka sepakati.
c)       Menurut Ulama Hanafiyah syirkah adalah akad yang dilakukan oleh orang-orang yang bekerjasama dalam modal dan keuntungan.
d)      Menurut sayyid sabiq syirkah adalah akad antara dua orang dalam (penanaman) modal dan (pembagian) keuntungan.
e)      Menurut taqiyuddin abi bakr Muhammad al husaini syirkah adalah ungkapan tentang penetapan suatu hak pada sesuatu yang satu untuk dua orang atau lebih menurut cara yang telah diketahui.
f)       Menurut wahbah az zuhaili syirkah adalah kesepakatan dalam pembagian hak dan usaha.
Menurut kompilasi hukum ekonomi syariah, yang dinamakan syirkah yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih dalam hal permodalan, keterampilan, atau kepercayaan dalam usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati oleh pihak-pihak yang bersyerikat.
Musyarakah adalah akad kerjasama yang terjadi diantara para pemilik modal (mitra musyarakah) untuk menggabungkan modal dan melakukan usaha secara bersama dalam suatu kemitraan, dengan nisbah pembagian hasil sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung secara proporsional sesuai dengan kontribusi modal.
2.      Mudharabah
Secara etimologis, mudharabah berasal dari kata dharaba – yadhribu – dharban yang artinya memukul. Dengan ditambahnya alif pada dho’, maka kata ini memiliki konotasi “saling memukul” yang berarti mengandung subjek lebih dari satu orang. Para fukoha memandang mudharabah dari akar kata ini dengan merujuk kepada pemakaiannya dalam al-Qur’an yang selalu disambung dengan kata depan “fi” kemudian dihubungkan dengan “al-ardh” yang memiliki pengertian berjalan di muka bumi.
Mudharabah merupakan bahasa yang biasa dipakai oleh penduduk Irak sedangkan penduduk Hijaz lebih suka menggunakan kata “qirodh” untuk merujuk pola perniagaan yang sama. Mereka menamakan qiradh yang berarti memotong karena si pemilik modal memotong dari sebagian hartanya untuk diniagakan dan memberikan sebagian dari labanya.
Kadang-kadang juga dinamakan dengan muqaradhah yang berarti sama-sama memiliki hak untuk mendapatkan laba karena si pemilik modal memberikan modalnya sementara pengusaha meniagakannya dan keduanya sama-sama berbagi keuntungan. Dalam istilah fikih muamalah, mudharabah adalah suatu bentuk perniagaan di mana si pemilik modal menyetorkan modalnya kepada pengusaha atau pengelola, untuk diniagakan dengan keuntungan akan dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan dari kedua belah pihak sedangkan kerugian, jika ada, akan ditanggung oleh si pemilik modal. Para ulama sepakat bahwa landasan syariah mudharabah dapat ditemukan dalam al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ dan qiyas.
3.      Muzara’ah
Muzara’ah secara bahasa merupakan suatu bentuk kata yang mengikuti wazan (pola) mufa’alah dari kata dasar al-zar’u yang mempunyai arti al-inbat (menumbuhkan). Kata ةعرازم adalah masdar dari Fi’il Madli عراز dan fi’il Mudloriعرازي yang secara bahasa mempunyai pengertian tanam, menanam.
Secara etimologi, muzara’ah berarti kerja sama dibidang pertanian antara pemilik tanah dengan petani penggarap. Sedangkan dalam terminologi fiqh terdapat beberapa definisi muzara’ah yang dikemukakan dalam fiqh.
Ulama Malikiyah mendefinisikannya dengan:
الشَّرْكَةُ فِى الزُّرْعِ
“perserikatan dalam pertanian.”
Menurut ulama Hanabiah muzara’ah adalah:
دَفْعُ الأرْضَ إِلَى مِنْ يَزْرَعُهَا أَوْ يَعْمَلُ عَلَيْهَا وَالزَّرْعُ بَيْنَهُمَا
“penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk digarap dan hasilnya dibagi berdua.”
Kedua definisi ini dalam kebiasaan Indonesia disebut sebagai “paroan sawah”, penduduk Irak menyebutnya “mukhobarah”. Dalam al-mukhabarah, bibit yang akan ditanam disediakan oleh penggarap tanah, sedang dalam muzara’ah bibit yang akan ditanam boleh dari pemilik.
4.      Musaqah
Menurut bahasa musaqah diambil dari kata al-saqah, yaitu seseorang bekerja pada pohon tamar, anggur (mengurusnya). Atau pohon-pohon yang lainnya yang mendatangkan kemaslahatan dan mendapatkan bagian tertentu dari hasil yang diurus sebagai imbalan. Menurut terminologi musaqah adalah akad untuk pemeliharaan tanaman (pertanian) dan yang lainnyaa dengan syarat-syarat tertentu.
Dengan demikian musaqah adalah sebuah bentuk kerjasama petani pemilik kebun dengan petani penggarap dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dan dirawat sehingga memberikan hasil yang maksimal. Kemudian segala sesuatu yang dihasilkan pihak kedua adalah merupakan hak bersama antara pemilik dan penggarap sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat.
Penggarap disebut musāqi. Dan pihak lain disebut pemilik pohon. Yang disebut kata pohon dalam masalah ini adalah: Semua yang ditanam agar dapat bertahan selama satu tahun keatas, untuk waktu yang tidak ada ketentuannya dan akhinya dalam pemotongan/penebangan. Baik pohon itu berbuah atau tidak.
Kerjasama dalam bentuk musāqāh ini berbeda dengan mengupah tukang kebun untuk merawat tanaman, karena hasil yang diterimanya adalah upah yang telah pasti ukurannya dan bukan dari hasilnya yang belum tentu.

C.    Dasar Hukum Musyarakah, Mudharabah, Muzara’ah, dan Musaqah
1.      Musyarakah
1)      Al-Qur’an
قالَ لَقَدۡ ظَلَمَكَ بِسُؤَالِ نَعۡجَتِكَ إِلَىٰ نِعَاجِهِۦۖ وَإِنَّ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلۡخُلَطَآءِ لَيَبۡغِي بَعۡضُهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٍ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَقَلِيلٞ مَّا هُمۡۗ وَظَنَّ دَاوُۥدُ أَنَّمَا فَتَنَّٰهُ فَٱسۡتَغۡفَرَ رَبَّهُۥ وَخَرَّۤ رَاكِعٗاۤ وَأَنَابَ۩ ٢٤.
Daud berkata: "Sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini". Dan Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya; maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat.
2)      Al-Hadist
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سُلَيْمَانَ الْمِصِّيصِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الزِّبْرِقَانِ عَنْ أَبِي حَيَّانَ التَّيْمِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَفَعَهُ قَالَ إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ أَنَا ثَالِثُ الشَّرِيكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ فَإِذَا خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا (سنن أبي داود : ٢٩٣٦)
Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Sulaiman Al Mishshishi], telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Az Zibriqan], dari [Abu Hayyan At Taimi], dari [ayahnya] dari [Abu Hurairah] dan ia merafa'kannya. Ia berkata; sesungguhnya Allah berfirman: "Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersekutu, selama tidak ada salah seorang diantara mereka yang berkhianat kepada sahabatnya. Apabila ia telah mengkhianatinya, maka aku keluar dari keduanya." (Sunan Abu Daud : 2936)
2.      Mudharabah
1)      Al-Qur’an
“Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebarkanlah kamu dimuka bumi dan carilah karunia Allah SWT.” (QS 62:10)
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan).” (QS 2:198).
2)      As-Sunnah
Dari shalih bin suaib r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkatan: Jual beli secara tanngguh, muqaradhah (mudharabah) dan mencampur adukan dengan tepung untuk keperluan rumah bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah).
3)      Ijma
Diantara ijma mudharabah adanya riwayat yang menyatakan bahwa jemaah dari sahabat menggunakan harta anak yatim untuk mudharabah, perbuatan tersebut tidak ditentang oleh sahabat lainnya.
4)      Qiyas
Mudharabah diqiyaskan kepada al-musyaqoh (menyuruh seorang untuk mengelola kebun) selain diantara manusia ada yang miskin ada pula yang kaya, disuatu sisi lain banyak orang kaya yang tidak dapat mengusahakan hartanya, di sisi lain tidak sedikit orang miskin yang mau bekerja, tetapi tidak memiliki modal. Dengan demikian adanya mudharabah ditujukan antara lain untuk memenuhi kebutuhan kedua golongan diatas, yakni untuk kemashalatan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka. 
3.      Muzara’ah
a)      Al Qur ‘an
وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الأرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ ...
Artinya:“...Dan yang lain lagi, mereka bepergian dimuka bumi mencari karunia dari Allah...” (Al-Muzammil : 20 )
أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَةَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَةُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
Artinya:“Apakah mereka yang membagi-bagikan rahmat Tuhanmu atau kami telah menentukan antara mereka penghidupan dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggalkan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Az-zuhruf : 32)
Kedua ayat tersebut diatas menjelaskan bahwa Tuhan memberi kebebasan kepada manusia supaya berusaha mencari rahmat-Nya untuk bertahan hidup dimuka bumi.
b)      Hadits
Dasar hukum yang digunakan para ulama dalam menetapkan hukum muzara’ah adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas ra.

“Sesunggunya Nabi SAW menyatakan, tidak mengharamkan bermuzara’ah, bahkan beliau menyuruhnya, supaya yang sebagian menyayangi sebagian yang lain, dengan katanya, barang siapa yang memiliki tanah hendaklah ditanaminya atan diberikan faedahnya kepada saudaranya, jika ia tidak mau, maka boleh ditahan saja tanah itu.”
4.      Musaqah
Dalam menentukan keabsahan akad musāqah dari segi syara’, terdapat perbedaan ulama fiqh. Imam Abu Hanifah dan Zufar ibn Huzail mereka berpendirian bahwa akad musāqāh dengan ketentuan petani penggarap mendapatkan sebagian hasil kerjasama ini adalah tidak sah, karena musāqāh seperti ini termasuk mengupah seseorang dengan imbalan sebagian hasil yang akan dipanen dari kebun itu.
Akan tetapi menurut kebanyakan ulama, hukum musāqāh itu boleh atau mubah, berdasarkan sabda Rasulullah saw:

Artinya: Dari Ibnu Umar, sesungguhnya Nabi saw telah memberikan kebun beliau kepada penduduk Khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian: mereka akan memperoleh dari penghasilannya, baik dari buah-buahan maupun hasil tanaman. (HR.Muslim)
Musāqāh juga didasarkan atas ijma’ (kesepakatan para ulama), karena sudah merupakan suatu transaksi yang amat dibutuhkan oleh umat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan sebagai bentuk sosial antara sesama manusia dengan jalan memberi pekerjaan kepada mereka yang kurang mampu. hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 2, yaitu:
وَ تَعاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَ التَّقْوى‏ وَ لا تَعاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَ الْعُدْوانِ وَ اتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَديدُ الْعِقابِ
Artinya: Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. al-Māidah: 2).
Ayat diatas menjelaskan tentang perintah Allah kepada hamba-hambanya yang beriman untuk saling tolong-menolong dalam perbuatan baik dan meninggalkan kemungkaran. Dengan wujud saling tolong-menolong orang berilmu membantu orang dengan ilmunya, orang kaya membantu dengan kekayaannya. Dan hendaknya kaum Muslimin menjadi satu tangan dalam membantu orang yang membutuhkan.

D.    Rukun dan Syarat Musyarakah, Mudharabah, Muzara’ah, dan Musaqah
1.      Musyarakah
1)      Rukun
Rukun merupakan sesuatu yang wajib dilakukan dalam suatu transaksi (necessary condition), begitu pula pada transaksi yang terjadi pada kerja sama bagi hasil al-Musyarakah. Pada umumnya, rukun dalam muamalah iqtishadiyah (muamalah dalam bidang ekonomi) ada tiga yaitu:
Ø  Shigat (lafal) ijab dan qabul
Ø   Pelaku akad, yaitu para mitra usaha
Ø  Obyek akad, yaitu modal (mal), kerja (dharabah), dan keuntungan (ribh).
Dalam akad kerja sama musyarakah, pernyataan ijab qabul harus menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak. Pihak-pihak yang melakukan akad juga harus cakap hukum seperti berkompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan. Selain itu juga setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan. Selain itu juga setiap mitra kerja boleh mewakilkan kerjanya kepada mitra yang lain dengan perjanjian yang disepakati bersama.
2)      Syarat
Ø  Harus mengenai tasharuf yang dapat diwakilkan.
Ø  Pembagian keuntungan yang jelas.
Ø  Pembagian keuntungan tergantung kepada kesepakatan, bukan kepada besar kecilnya modal atau kewajiban.
2.      Mudharabah
1)      Rukun Mudharabah
Ulama hanafiyah berpendapat bahwa rukun mudharabah adalah ijab dan qobul, yakni lafad yang menunjukan ijab dan qobul dengan menggunakan mudharabah, muqaridhah, muamalah, atau kata-kata yang searti dengannya.
Jumhur ulama berpendapat bahwa rukun mudharabah ada tiga, yaitu dua orang melakukan akad (al-aqidani), modal (ma’qud alaih), dan shiqad (ijab dan qabul), sedanngkan ulama syafi’iyah lebih merici lagi menjadi lima rukun yaitu: modal, pekerjaan, laba, shighat, dan dua orang yang akad.
2)      Syarat Mudharabah
Syarat mudharabah ada tiga, yaitu sebagai berikut:
Ø  Syarat Aqidani
Di syaratkan bagi orang yang melakukan akad, yakni pemilik modal dan pengusaha adalah ahli dalam mewakilkan atau menjadi wakil sebab mudharib mengusahakan harta pemilik modal, yakni menjadi wakil.
Ø  Syarat Modal
a.       Modal harus berupa uang, seperti dinar, dirham, atau sejenisnya, yakni segala sesuatu yang memungkinkan dalam perkongsian.
b.      Modal harus diketahui dengan jelas dan memiliki ukuran.
c.       Modal harus ada, bukan berupa utang, tetapi tidak harus ada tempat akad. Juga dibolehkan mengusahakan harta yang dititipkan kepada oranng lain, seperti mengatakan:”Ambil harta saya di si fulan kemudian jadikan modal usaha”
d.      Modal harus diberikan kepada pengusaha, hal itu dimaksudkan agar pengusaha dapat mengusahakannya, yakni menggunakan harta tersebut sebagai amanah
Ø  Syarat-syarat Laba
a.       Laba harus memiliki ukuran
Mudharabah yang dimaksudkan untuk mendapatkan laba, dengan demikian pengusaha dibolehkan menyerahkan laba sebesar Rp.5000,00 misalnya untuk dibagi diantara keduanya tanpa menyebutkan ukuran laba yang diterimanya.
b.      Laba harus berupa bagian yang umum (Masyhur)
Pembagian laba harus sesuai dengan keadaan yang berlaku secara umum, seperti kesepakatan diantara orang yang melangsungkan akad bahwa setengah laba adalah untuk pemilik modal, sedanngkan setengah lainnya lagi diberikan kepada pengusaha. Akan tetapi tidak boleh menetapkan jumlah tertentu bagi satu pihak lain, seperti menetapkan laba Rp.1000 bagi pemilik modal dan menyerahkan sisanya bagi pengusaha.
3.      Muzara’ah
Jumhur ulama, yang memboleh akad mengemukakan rukun dan syarat harus dipenuhi, sehingga akad dianggap sah. Rukun muzara’ah menurut mereka adalah: (a) pemilik tanah, (b) petani penggarap, (c) objek muzara’ah, yaitu antara manfaat tanah dengan hasil kerja petani, dan (d) ijab (ungkapan penyerahan tanah dari pemilik tanah) kabul (pernyataan penerima tanah untuk digarap dari petani).
Contoh ijab kabul itu adalah; “Saya serahkan tanah pertanian saya ini kepada engkau untuk digarap, dan hasilnya nanti kita bagi berdua”. Kemudian petani penggarap menjawab: “Saya terima tanah pertanian ini untuk di garap dengan imbalan hasilnya dibagi berdua”. Jika hal itu telah terlaksana, maka akad itu telah sah dan mengikat. Namun, ulama Hanabilah mengatakan bahwa peneriamaan (kabul) akad muzara’ah tidak perlu dengan ungkapan, tetapi boleh juga dengan tindakan, yaitu petani langsung menggarap tanah.
Adapun syarat-syarat muzara’ah, menurut jumhur ulama, ada yang menyangkut orang yang berakad, benih yang akan ditanam, tanah yang akan dikerjakan, hasil yang akan dipanen, dan yang menyangkut jangka waktu berlakunya akad.
Untuk orang yang melakukan akad disyaratkan bahwa keduanya harus orang yang telah baligh dan berakal, karena kedua syarat inilah yang membuat seseorang dianggap telah cakap bertindak hukum. Pendapat lain dari kalangan ulama Hanafiyah menambahkan bahwa salah seorang atau keduanya bukan orang yang murtad (keluar dari agama islam), karena tindakan hukum orang yang murtad dianggap mauquf (tidak punya efek hukum, sampai ia masuk islam).
Akan tetapi, Abu Yusuf dan Muhammad ibn Al-Hasan asy-Syaibani tidak menyetujui syarat tambahan ini, karena menurut mereka, akad muzara’ah boleh dilakukan antara muslim dengan non muslim; termasuk orang murtad.
Syarat yang menyangkut benih yang akan ditanam harus jelas, sehingga -sesuai dengan kebiasaan tanah itu- benih yang ditanam itu jelas dan akan menghasilkan. Sedangkan syarat-syarat yang menyangkut tanah pertanian adalah:
a)      Menurut adat dikalangan para petani, tanah itu boleh digarap dan menghasilkan. Jika tanah itu adalah tanah yang tandus dan kering, sehingga tidak memungkinkan dijadikan tanah pertanian, maka akad muzara’ah tidak sah.
b)      Batas-batas tanah itu jelas.
c)      Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap. Adapun disyaratkan bahwa pemilik tanah ikut mengolah pertanian itu, maka akad muzara’ah tidak sah.
Syarat-syarat yang menyangkut dengan hasil panen adalah sebagai berikut:
a)         Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas.
b)        Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa boleh ada pengkhususan.
c)         Pembagian hasil panen itu ditentukan setengah, sepertiga, atau seperempat sejak dari awal akad, sehingga tidak timbul perselisihan di kemudian hari, dan penentuannya tidak boleh berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak, seperti 1 kuintal untuk pekerja, atau 1 karung, karena kemungkinan seluruh hasil panen jauh di bawah jumlah itu atau dapat juga jauh melampaui jumlah itu.
Syarat yang menyangkut jangka waktu juga harus dijelaskan dalam akad sejak semula, karena akad muzara’ah mengandung akad ijarah (sewa-menyewa atau upah-mengupah) dengan imbalan sebagian hasil panen. Oleh sebab itu, jangka waktunya harus jelas. Untuk penentuan jangka waktu ini, biasanya disesuaikan dengan adat kebiasaan setempat.
Untuk objek akad, jumhur ulama yang membolehkan muzara’ah, mensyaratkan juga harus jelas, baik berupa jasa petani, sehingga benih yang akan ditanam datangnya dari pemilik tanah, maupun pemanfaatan tanah, sehingga benihnya dari petani.
4.      Musaqah
Terdapat beberapa perbedaan dikalangan ulama fiqh terhadap rukun-rukun musāqāh.
Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa yang menjadi rukun dalam akad adalah ijāb dari pemilik tanah perkebunan dan qabūl dari petani penggarap, dan pekerjaan dari pihak petani penggarap.
Jumhur ulama yang terdiri atas ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah berpendiriran bahwa transaksi musāqāh harus memenuhi lima rukun, yaitu:
a)      Sighāt (ungkapan) ijāb dan qābūl.
b)      Dua orang/pihak yang melakukan transaksi.
c)      Tanah yang dijadikan objek musāqāh.
d)     Jenis usaha yang akan dilakukan petani penggarap.
e)      Ketentuan mengenai pembagian hasil musāqāh.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh masing-masing rukun adalah:
d)     Kedua belah pihak yang melakukan transaksi harus orang yang cakap bertindak hukum, yakni dewasa (akil baligh) dan berakal.
e)      Objek musaqah
Objek musāqāh menurut ulama Hanafiah adalah pohon-pohon yang berbuah, seperti kurma. Akan tetapi, menurut sebagian ulama Hanafiyah muta’akhkhirin menyatakan musāqāh juga berlaku atas pohon yang tidak mempunyai buah, jika hal itu dibutuhkan masyarakat.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa objek musāqāh adalah tanaman keras dan palawija, seperti anggur, kurma, dan lain-lain, dengan syarat: (1)Akad dilakukan sebelum buah itu layak dipanen; (2)Tenggang waktu yang ditentukan jelas; (3)Akadnya dilakukan setelah tanaman itu tumbuh; (4)Pemilik perkebunan tidak mampu untuk mengolah dan memelihara tanaman itu.
Objek musāqāh menurut ulama Hanabilah bahwa musāqāh dimaksudkan pada pohon-pohon berbuah yang dapat dimakan. Oleh sebab itu, musāqāh tidak berlaku terhadap tanaman yang tidak memeiliki buah.
Sedangkan ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa yang boleh dijadikan obyek akad musāqāh adalah kurma dan anggur saja. Kurena didasarkan pada perbuatan Rasulullah saw terhadap orang Khaibar.
f)       Hasil yang dihasilkan dari kebun itu merupakan hak mereka bersama, sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat, baik dibagi dua, tiga dan sebagainya.
g)      Shighat dapat dilakukan dengan jelas (shārih) dan dengan samaran (kināyah). Disyariatkan shighāt dengan lāfaẓ dan tidak cukup dengan perbuatan saja.

E.     Jenis-jenis Musyarakah, Mudharabah, Muzara’ah, dan Musaqah
1.      Musyarakah
a.       Syirkah al-milk
Syirkah al-milk (kerjasama non kontraktual), mengimplikasikan kepemilikan bersama dan terjadi ketika dua atau lebih orang secara kebetulan mendapatkan kepemilikan bersama beberapa aset tanpa melalui persetujuan kerja sama. Contohnya yaitu seperti menerima hibah atau wasiat secara bersama-sama.
b.      Syirkah al uqud
Syirkah al uqud menunjukkan kebersamaan dua atau lebih orang untuk menjalankan suatu usaha yang bertujuan membagi keuntungan dengan investasi bersama sebagai kelaziman pada periode pembentukan kerjasama tersebut, berupa kerjasama dalam jumlah modal tertentu.
2.      Mudharabah
Jenis Mudharabah diklasifikasikan ke dalam 3 jenis yaitu: mudharabah Muthalaqoh, Mudharabah Muqayyadah, dan Mudharabah Musytarakah.
a.       Mudharabah Muthalaqoh adalah mudharabah di mana pemilik dananya memberikan kebebasan kepada pengelola dana dalam pengelola investasinya. Dan mudharabah ini disebut juga investasi tidak terikat.
b.      Mudharabah Muqayyadah adalah mudharabah di mana pemilik dana memberikan batasan kepada pengelola antara lain mengenai dana, lokasi, cara, atau objek investasi atau sektor usaha.
c.       Mudharabah Musytarakah adalah mudharabah di mana pengelola dana menyerahkan modal atau dananya dalam kerja sama investasi.
3.      Muzara’ah
Ada empat bentuk muzâra’ah menurut Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan, dua murid Imam Abu Hanifah, tiga diantaranya termasuk akad shahih dan satu lainnya akad bathil.
                       a.      Apabila tanah dan benih dari pihak pertama sedangkan pengerjaan lahan dan hewan (peralatan) dari pihak kedua, maka muzâra’ah seperti ini diperbolehkan. Di sini pemilik tanah dan benih seakan-akan bertindak sebagai penyewa kepada si penggarap. Adapun hewan (peralatan) adalah bagian yang tak terpisahkan dari pihak penggarap. Karena  hewan (peralatan) adalah wasilah untuk bekerja.
                       b.      Apabila tanah dari pihak pertama sedangkan hewan (peralatan), benih dan pengerjaan lahan dari pihak kedua, maka muzâra’ah seperti ini juga diperbolehkan. Di sini penggarap tanah seakan-akan menjadi penyewa tanah dengan keuntungan pembagian hasil yang akan dipanen nanti.
                       c.      Apabila tanah, hewan (peralatan) dan benih dari pihak pertama sedangkan pengerjaan lahan dari pihak kedua, maka muzâra’ah seperti ini juga diperbolehkan. Di sini pemilik tanah seakan-akan bertindak sebagai penyewa pekerjaan si penggarap dengan pembagian hasil yang disepakati kedua pihak.
                      d.      Apabila tanah dan hewan (peralatan) dari pihak pertama sedangkan benih dan pengerjaan lahan dari pihak kedua, maka muzâra’ah seperti ini tidak diperbolehkan. Ini termasuk akad yang fasid.  Apabila kita qiaskan akad muzâra’ah dengan akad sewa tanah, maka pensyaratan adanya hewan (peralatan) kepada pemilik tanah dapat merusak akad sewa (ijârah). Karena tidak mungkin untuk menjadikan hewan (peralatan) bagian dari tanah sebab adanya perbedaan manfaat antara keduanya. Dengan kata lain bahwa manfaat hewan (peralatan) bukan termasuk jenis manfaat yang ada dalam pemanfaatan tanah itu sendiri. Tanah berfungsi sebagai lahan untuk bercocok tanam sedangkan hewan (peralatan) berfungsi untuk bekerja dan mengolah tanah. Adapun jika akad ini diqiyaskan ke akad sewa pekerja, maka pensyaratan adanya benih juga merusak akad sewa, karena benih bukan termasuk bagian dari manfaat pekerja (penggarap).
4.      Musaqah
a.       Musāqāh yang bertitik pada manfaatnya, yaitu pada hasilnya berarti pemilik tanah (tanaman) sudah menyerahkan kepada yang mengerjakan segala upaya agar tanah (tanaman) itu membawa hasil yang baik. Kalau demikian orang yang mengerjakan berkewajiban mencari air, termasuk membuat sumur, parit ataupun bendungan yang membawa air, jadi pemilik hanya mengetahui hasilnya.
b.      Musāqāh yang bertitik tolak pada asalnya, yaitu untuk mengairi saja, tanpa ada tanggung jawab untuk mencari air. Maka pemiliknyalah yang berkewajiban mencarikan jalan air, baik yang menggali sumur, membuat parit atau usaha-usaha yang lain. Musāqāh yang pertama harus diulang-ulang setiap tahunnya (setiap tahun harus ada penegasan lagi).


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Kesimpulan yang bisa ditarik dari uraian diatas adalah sebagai berikut:
1.      Dari beberapa pengertian kontrak di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kontrak merupakan kesepakatan bersama baik lisan, isyarat, maupun tulisan antara dua pihak atau lebih melalui ijab dan qabul yang memiliki ikatan hukum bagi semua pihak yang terlibat untuk melaksanakan apa yang menjadi kesepakatan tersebut.
2.      Pengertian dari musyarakah adalah akad yang dilakukan oleh orang-orang yang bekerjasama dalam modal dan keuntungan. Mudharabah adalah suatu bentuk perniagaan di mana si pemilik modal menyetorkan modalnya kepada pengusaha atau pengelola, untuk diniagakan dengan keuntungan akan dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan dari kedua belah pihak sedangkan kerugian, jika ada, akan ditanggung oleh si pemilik modal. Muzara’ah adalah kerja sama dibidang pertanian antara pemilik tanah dengan petani penggarap. Musaqah merupakan sebuah bentuk kerjasama petani pemilik kebun dengan petani penggarap dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dan dirawat sehingga memberikan hasil yang maksimal.
3.      Musyarakah, mudharabah, muzara’ah dan musaqah memiliki rukun dan syarat masing-masing, begitu pula dengan jenisnya.

B.     Saran
Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan-kesalahan. Oleh karena itu, kami  mengharapkan agar pembaca dapat memberikan kritik maupun saran yang sifatnya membangun agar makalah dapat lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA
Afandi, Yazid. 2009. Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Logung Pustaka.
Ghazali, Abdul Rahman. 2010. Fiqh Muamalah. Jakarta: Kencana.
Haroen, Nasrun. 2007. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Nuh, Abd. Bin dan Oemar Bakry, 1961. Kamus Indonesia-Arab-Inggris. Jakarta: Mutiara.
Sabiq, Sayyid. 1987. Fikih Sunnah. Bandung: PT.Alma’arif.
Suhendi, Hendi. 2005. Fiqh Muamalah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Syafe’i, Rachmad. 2002. Fiqh Muamalah. Bandung: Pustaka Setia.

Syarifuddin, Amir. 2003. Garis-garis Besar Fiqh. Bogor: Kencana.